Sabtu, 30 Juni 2012

Pluralisme adalah Omong Kosong

Diantara issue yang mendapat perhatian cukup besar dan dominan sepanjang zaman adalah issue keberagaman atau pluralitas agama. Issue ini merupakan fenomena yang hadir di tengah keanekaragaman klaim kebenaran absolut (absolute truth-claims) antar agama yang saling berseberangan. Setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat semua. Klaim ini kemudian melahirkan keyakinan yang biasa disebut "doctrine of salvation" (doktrin keselamatan), bahwa keselamatan atau pencerahan (enlightenment) atau surga merupakan hak para pengikut agama tertentu saja, sedangkan pemeluk agama lain akan celaka dan masuk neraka. Sejatinya keyakinan semacam ini, juga berlaku pada penganut antar sekte atau aliran dalam agama yang sama, seperti yang terjadi antara Protestan dan Katolik dalam agama Kristen, antara Mahayana dan Hinayana atau Theravada dalam agama Buddha, dan juga antar kelompok Islam yang beragam. Realitas tersebut telah mengantarkan pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek.

Issue pluralitas ini sering diletakkan sebagai pemberi andil yang cukup besar, malah faktor utama, dalam menciptakan iklim ketegangan atau konflik antar agama yang tidak jarang tampil dengan warna kejam, keras, perang, dan pembunuhan, bahkan pembersihan ras (ethnic cleansing atau genocide). Di satu pihak, teknologi informasi dan komunikasi modern telah menjadikan jagad ini hampir seperti global village. Di pihak lain, bangkit berbagai gerakan dan kelompok agama, telah menambah situasi tegang dan menakutkan, seperti yang kita saksikan antara Kristen dan Islam di Bosnia-Herzegovina, Filipina Selatan, Sudan Selatan, dan kelulauan Maluku Indonesia. Antara Islam dan Yudaisme di Timur Tengah, Islam dan Hindu di Kashmir, Protestan dan Katolik di Irlandia Utara, dan sebagainya.

Fenomena ini kemudian ditambah dengan fenomena meningkatnya gelombang dan arus migrasi pemeluk agama-agama "Timur", khususnya kaum Muslimin, ke negara-negara Barat. Hal mana secara umum telah membuat Barat khawatir akan terganggunya keamanan dan ketenteramannya. Barat, yang memang belum terbiasa hidup berkoeksistensi damai dengan komunitas-komunitas lain kecuali baru akhir-akhir ini saja (itu pun sebatas kulit-kulit luaran saja) dan yang sebetulnya masih harus belajar dari komunitas lain, begitu merasa tak nyaman dan khawatir yang sangat berlebihan (paranoid) akan munculnya kelompok atau bangsa lain, khususnya dari kaum Muslimin, sebagai kekuatan yang menjadi rivalnya, terutama pada masa pasca perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet.

Terlepas dari itu semua, fenomena plutalitas agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus dihadapi masyarakat modern. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara, dalam satu wilayah dan satu kota, dan bahkan dalam satu gang yang sama. Fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai, seperti Barat, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri, sehingga memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi maupun pendekatan dalam merespon problematika tersebut.

Dari sinilah kemudian muncul sejumlah teori pluralisme agama, yang mungkin bisa diklasifikasikan, sesuai dengan pokok-pokok pemikiran dan karakter utamanya ke dalam empat kategori. Pertama, tren humanisme sekular (secular humanism), yang dibangun di atas dua konsep utama untuk mewujudkan koeksistensi damai antar agama: (i) sentralitas manusia sebagai subyek dan obyek; dan (ii) sekularisasi/sekularisme. Representatif tren ini kebanyakan dari kalangan tokoh politik seperti Benjamin Franklin, dan juga para teolog seperti Harvey Cox.

Kedua, tren teologi global (global theology), yang mengacu kepada: (i) teori rekonsepsi agama yang diusung Wilfred Cantwell Smith; dan (ii) hipotesis transformasi pemusatan-diri menuju pemusatan-Yang Maha Nyata (The Real) yang dipropagandakan oleh John Hick.

Ketiga, tren sinkretisme (syncretic trend). Tren ini diwakili oleh gerakan "Masyarakat Ketuhanan" (Brahma Samaj); dan "Masyarakat Teosofi" (Theosophical Society) yang didirikan pada tahun 1875 di New York, Amerika Serikat. Tren ini juga terekspresikan secara fasih dalam pemikiran-pemikiran Ramakrishna dan muridnya, Swami Vivekananda. Begitu juga, kecenderungan ini sangat kental dalam gagasan-gagasan Mahatma Gandhi. Tren ini memiliki dua pondasi utama yaitu: (i) gagasan bahwa kebenaran terbagi dalam berbagai agama, dan (ii) gagasan bahwa agama-agama adalah saling melengkapi.  Dari tren ini lahir khazanah pemikiran Kabir dan Nanak yang telah memformulasi agama baru, Sikhisme, yang dicampur dari adonan Hindu, Buddha, dan Islam.

Keempat, tren Hikmah Abadi (perennial philosophy, sophia perennis atau al-Hikmah al-Khalidah). Sebetulnya tren ini dari segi kepopulerannya di kalangan kaum mistik kuno, adalah tren kuno, tapi karena ditampilkan dalam wadah baru lengkap dengan filsafat modern, maka pada saat maraknya issue pluralisme agama, maka ia dapat dianggap sebagai tren modern dan relevan dengan topik kajian ini. Tren ini digagas dan diusung tokoh-tokohnya yang paling bertanggung jawab, seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr. Gagasan ini pada intinya bertumpu pada keyakinan mereka yang membedakan antara "hakikat transenden" (transcendent reality) yang hanya satu saja dan tidak mungkin diketahui, dan "hakikat keagamaan" (religious reality) yang tidak lain merupakan beberapa manifestasi eksternal yang beragam dari hakikat yang satu dan transenden tersebut.

Keempat tren ini jika diteliti dengan seksama, ujung-ujungnya berakhir pada muara yang sama. Yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan ideologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai. Serta dengan tanpa adanya perasaan superioritas dari salah satu agama di atas yang lain. Setidaknya inilah nilai-nilai yang ingin diwujudkan oleh tren-tren tersebut, dan inilah yang kini dikenal secara luas dengan istilah pluralisme agama.

Pengkaji yang cermat, mendalam, obyektif, dan kritis terhadap tren-tren tersebut di atas, niscaya akan berkesimpulan bahwa gagasan-gagasan tersebut ternyata tidak mampu menyuguhkan solusi apapun yang berarti bagi problem konflik dan ketegangan antar agama. Melainkan justru sebaliknya, menciptakan fenomena baru yang berdampak negatif serta sangat berpotensi membahayakan manusia dan kehidupan keagamaannya secara umum. Implikasi-implikasinya, yang terpenting diantaranya adalah: (i) terminasi atau eliminasi agama-agama yang melahirkan sekularisme dan skeptisisme dengan kedua versinya yang ateis dan agnostik; (ii) munculnya pluralisme formalistis yang melahirkan uniformisme dan munculnya agama-agama baru; dan (iii) ancaman terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) yang melahirkan kondisi empiris golongan agama minoritas yang hidup di bawah sistem demokrasi, dimana terdapat kenyataan bias yang nyaris tak terhindarkan dalam cipta-rasa manusia, dan problem teoritis (theoretical problem) tentang HAM.

Gagasan ini, yakni kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, namun kajian yang lebih mendalam, obyektif dan kritis terhadap gagasan tersebut, telah menunjukkan hakikat yang justru sebaliknya, dan semakin menyingkap topeng yang menyembunyikan wajah aslinya yang ternyata bengis, tak ramah, dan intoleran. Di samping kontradiksi yang sangat jelas dengan arti etimologis pluralisme agama, gagasan ini sebenarnya banyak mengandung problem yang sangat krusial. Sebagian diantaranya adalah problem epistemologis, dan sebagian lainnya adalah problem metodologis, dan lainnya lagi adalah problem teologis, sehingga jika diimplementasikan di alam nyata secara apa adanya jelas justru akan menimbulkan problem-problem yang berlawanan secara diametral dengan tujuan-tujuan yang semula ingin dicapai. Sehingga yang terjadi adalah intoleran dan bukan toleran, pemaksaan dan bukan kebebasan, kezaliman dan bukan keadilan, dan sebagainya. Oleh karena itu, gagasan ini lebih merupakan problem itu sendiri daripada solusi.


Sumber: Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis dengan editan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar