Senin, 31 Agustus 2009

Rasulullah saw. dan Pengemis Yahudi Buta

Oleh: Anonim

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya."

Tetapi setiap pagi Rasulullah saw. mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah saw. menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah saw. melakukannya hingga menjelang Rasulullah saw. wafat. Setelah wafatnya Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abu Bakar ra. berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "Anakku, adakah sunnah kekasihku (Muhammad) yang belum aku kerjakan?" Aisyah r.ha. menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah, hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja." "Apakah Itu?", tanya Abu Bakar ra.

"Setiap pagi Rasulullah saw. selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana," kata Aisyah r.ha. Esok harinya Abu Bakar ra. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu.

Abu Bakar ra. mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar ra. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "Siapakah kamu?" Abu Bakar ra. menjawab, "Aku orang yang biasa setiap pagi ke sini." "Bukan, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku," jawab pengemis buta itu. "Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang, tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku dengan lembut," pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abu Bakar ra. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah saw."

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar ra. ia pun ikut menangis, kemudian berkata, "Benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia..." Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar ra.

Kabel dan Cahaya Lampu

Oleh: Anonim

"SAYANG, ayo kita shalat. Tuh dengar adzan telah berbunyi," ujar seorang Ibu kepada anaknya yang tengah asyik nonton televisi. "Sebentar lagi dong, ini lagi seru-serunya," jawab sang anak. Ibu itu kemudian mendekat, "Sayang, tidak baik menunda-nunda shalat. Ini kan haknya Allah. Ayo matikan tivinya!" "Iya deh," jawab sang anak sambil beranjak dari tempat duduk. Ia terlihat sangat kecewa karena harus meninggalkan televisi.

Selama di kamar mandi, si anak terus menggerutu. "Ah..Ibu, tiap hari menggangu saja. Lagi enak-enaknya nonton disuruh shalat. Lagi seneng-senengnya main disuruh shalat. Lagi nyeyak tidur disuruh shalat. Harus baca Qur'an-lah. Harus ikut pengajian-lah. Harus ini. Harus itu. Bikin pusiiiing."

* * *

SELEPAS shalat berjamaah, anak itu bertanya dengan nada protes. "Bu, kenapa sih kita harus shalat, harus puasa, harus baca Al-Qur'an, dan harus belajar? Bukankah itu mengganggu kesenangan kita? Lagi pula, menurut saya, semua itu tidak ada gunanya, tidak mendatangkan hasil." Si Ibu sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia pun terdiam beberapa saat. Ada sedikit kemarahan yang muncul dalam hatinya. Tapi ia segera sadar bahwa yang bertanya adalah anak kecil, yang belum tahu apa-apa selain main dan bersenang-senang.

Sang Ibu beranjak mengambil sebuah lampu yang menempel di dinding kamar anaknya. Sesaat kemudian ia berkata, "Anakku sayang, kamu lihat lampu ini. Ia begitu indah. Bentuknya lonjong dengan dindingnya terbuat dari kaca yang bening. Tiap malam engkau bisa belajar, mengerjakan PR, dan nonton televisi, salah satu sebabnya karena diterangi lampu ini."

"Sayang, tahukah kamu mengapa lampu ini bisa menyala?" lanjut si Ibu. "Ya, karena ada energi listrik yang berubah jadi cahaya," jawab sang anak. "Benar sekali jawabanmu. Lalu apa yang menyambungkan lampu ini dengan sumber listrik tadi?" tanya si ibu lebih lanjut. Sang anak pun menjawab dengan pasti, "Yang menyambungkan lampu dan sumber listrik adalah kabel." "Pintar sekali kamu," timpal si Ibu memuji.

"Nah, sekarang kamu pasti tahu, bila tidak ada kabel pasti lampu ini tidak akan nyala dan kamar ini pasti gelap. Bila demikian, ia tidak akan ada manfaatnya lagi, dan kamu tidak bisa belajar dan nonton tivi."

Sang anak belum paham mengapa Ibunya menceritakan lampu itu kepadanya. "Apa maksud Ibu?" tanyanya kemudian.

Ibu itu kembali berkata, "Anakku sayang, Allah itu sumber cahaya dalam hidup. Kita adalah lampunya. Ibadah yang kita lakukan menjadi kabel atau tali penghubungnya. Ibadah dapat menghubungkan antara Allah dengan manusia, tepatnya antara Allah dengan kita. Bila tidak mau beribadah, hidup kita akan gelap. Kita akan tersesat dan takkan berguna sedikit pun, seperti tak bergunanya lampu yang tak bercahaya." Ibu itu melanjutkan, "Jadi, shalat, bersedekah, membaca Al-Qur'an, ataupun belajar adalah kabel yang akan menghubungkan kita dengan Allah."

Mendengar semua itu, sang anak tampak tertegun. Dalam hatinya timbul penyesalan akan sikapnya yang selalu menganggap remeh ibadah. Ia pun berkata, "Kalau begitu aku tidak akan meninggalkan shalat lagi dan akan membaca Al-Qur'an tanpa harus disuruh. Bu, maafkan saya ya!"

Riak Gelombang di Telaga Tua

Oleh: Abu Aufa

Bangunan itu tampak lusuh, cat yang memudar dan lumut menyelimuti dinding tuanya. Di sekelilingnya, semak belukar laksana taman bunga yang indah bermekaran. Lirih rintihan tangis, tawa yang sumbang bahkan teriakan menyayat perasaan kadang terdengar hingga kejauhan. Pedih dan tampak suram, menyiratkan perasaan muram penghuninya.

Nanar, dan mata yang menerawang menjadi pemandangan biasa. Tersisih dari regukan kasih sayang, lalu teronggok lemah dalam belenggu kerinduan yang menguliti renta jiwanya. Merenung dan melamun seakan menjadi rutinitas harian, mengingat masa lalu saat meretas masa depan buah hati tercinta.

Tanpa sadar, telaga tua itu berkaca-kaca hingga menimbulkan riak gelombang, jatuh menetes membasahi guratan keriput di wajah. Perlahan, lirih teralun senandung Dodoi Si Dodoi, ...

Tidurlah anak tidurlah manja / Tidurlah anak tidurlah sayang / Pejamkan matamu sayang / Jangan menangis oh intan / Ibu dodoikan hai sayang / Tidurlah intan... seraya tangan bagaikan menggendong buaian.

Tubuh-tubuh sepuh itu pun lalu beringsut perlahan menghampiri jendela, berharap leluasa menatap ke jalan. Tak ada yang dinantikan selain kunjungan anak, keluarga atau saudara yang membawa seikat bunga kasih sayang. Saat fajar menggelepar keluar dari peraduan, hingga menghantar kerinduan rembulan yang ingin bercengkerama dengan burung malam, tak satu jua dapat mengusiknya. Lalu mereka pun terlelap dalam rengkuhan kesepian dan kepedihan.

Saudaraku yang kucinta karena Allah.
Menjadi tua pastilah menyapa setiap manusia, termasuk kedua orangtua kita. Saat lanjut usia, perhatian dan kasih sayang kita bagai embun yang akan menelisik lembut, membasahi rongga jiwa mereka. Cinta yang teruntai dari sikap dan kata-kata pun lebih bernilai harganya dari uang serta harta benda. Namun, cepatnya putaran dunia seakan mengasingkan keberadaan kita dengan mereka, hingga Panti Wreda menjadi pilihan saat pikun dan lamban mulai menjangkiti usia senja.

Malu karena pikun dan takut menodai kehormatan keluarga, kadang menjadi alasan pengasingan di usia renta, seakan diri ini hina memiliki orangtua seperti mereka. Padahal hina itu justru saat kita menepiskan mereka di hari tuanya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda, "Semoga terhina, semoga terhina, semoga terhina, orang yang mendapati kedua orangtuanya telah tua, salah satu atau keduanya, tapi dia tidak bisa masuk surga karena keduanya." (HR. Muslim nomor 2551)

Ingatkah kita bahwa Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, jika keluar dari rumahnya selalu berhenti di depan pintu Ibunya sambil berkata, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai Ibuku!" Dan Ibunya menjawab, "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, wahai anakku!" Abu Hurairah lalu berkata, "Semoga Allah menyayangimu sebagaimana engkau telah mendidikku di waktu kecil." Maka Ibunya berkata, "Semoga Allah juga menyayangimu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepadaku di masa tuaku."

Sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash radliyallahu 'anhu pun pernah bercerita, seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan kemudian berkata, "Aku datang berbaiat kepadamu untuk hijrah, dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis." Mendengar hal itu, Nabi bersabda, "Kembalilah engkau kepada mereka, buatlah keduanya tertawa sebagaimana sebelumnya engkau telah membuatnya menangis." (HR. Abu Dawud nomor 2528 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud nomor 2205)

Duhai jiwa...
Mengapa kau sia-siakan dan lupakan mereka?
Kau dahulukan berbuat baik kepada yang lain dari keduanya
Tidakkah engkau sadar, orang yang berbuat baik kepada orangtuanya nanti akan ditaati pula oleh anak-anaknya?
Kalau kau mendurhakai orangtua, kelak anak-anak pun akan durhaka kepadamu
Tidakkah engkau takut mereka akan memperlakukanmu sebagaimana perlakuanmu kepada orangtuamu?
Sebagaimana engkau bersikap, demikian juga engkau nanti akan disikapi anak-anakmu

Tua, sepuh hingga pikun di kala renta, bukankah itu pasti terjadi pada semua manusia?
Lalu mengapa kehormatan dan harga diri ini lebih berharga dari kasih sayangnya kepada kita?

Ya akhi wa ukhti...
Jangan biarkan pemilik telaga tua itu selalu menanti kehadiranmu
Jangan biarkan pula riak gelombang tersirat di telaga tuanya
Datanglah dengan kasih sayang dan perhatian serta cinta
Sungguh, mereka tak butuh apa-apa
Hanya itu...

Wallahua'lam bi showab.

Rencana Tuhan Itu Indah

Oleh: Anonim

Ketika aku masih kecil, waktu itu Ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.

Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut, "Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara Ibu menyelesaikan sulaman ini, nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan Ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."

Aku heran, mengapa Ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil, "Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan Ibu."

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.

Kemudian ibu berkata, "Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, Ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang Ibu lakukan."

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah, "Allah, apa yang Engkau lakukan? "Ia menjawab, " Aku sedang menyulam kehidupanmu." Dan aku membantah, "Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?"

Kemudian Allah menjawab, "Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaan-Ku di bumi ini. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke surga dan mendudukkan kamu di pangkuan-Ku, dan kamu akan melihat rencana-Ku yang indah dari sisi-Ku."

Kekafiran Valentine’s Day (Kristologi)

Oleh: A. Maria Mumtazah

Latah! Inilah penyakit akidah umat, utamanya para remaja ABG. Mereka dengan mudah diseret oleh hal-hal yang berbau tren dan apa saja yang dianggap modern. Ketika westernisasi masuk melalui tradisi Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) setiap tanggal 14 Februari, tanpa pikir-pikir, anak-anak muda pun membebek. Bila tidak ikut-ikutan, takut dikatakan ketinggalan zaman oleh teman-temannya.

Maka jadilah tanggal 14 Februari seperti hari raya untuk mengungkapkan kasih sayang dan persahabatan kepada orang-orang dekat, baik teman sejenis maupun lawan jenis. Ada yang sekedar memberikan kartu Valentine, kado dan SMS, bahkan ada yang mengadakan pesta mewah dengan berbagai acara, dari acara sekedar hiburan sampai kepada pesta yang menjurus kepada perilaku kebebasan seksual (free sex). Na’udzu billah.

Sejarah Kekafiran Hari Valentine

Pada masa Romawi Kuno, tanggal 13-18 Februari, terdapat Perayaan Lupercalia dalam rangkaian upacara penyucian. Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Constantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 versi Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan Pendeta St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Yesus Kristus dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St. Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St. Valentine (yang hidup di akhir abad ke-3 M) melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda, sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati pada 14 Februari 269 M, Valentine mengirim sebuah kartu yang bertuliskan “Love from your Valentine.” Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama Kristen bersama 46 kerabatnya (lihat: The World Book Encyclopedia,1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Prancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol. 12 hal. 242; The World Book Encyclopedia,1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be my Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa.” Kata ini ditujukan kepada Nimrod (Namruj) dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa?” dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” Dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!

Versi ketiga menyebutkan ketika agama Kristen tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan “dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini.”

Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat “dengan nama tuhan Ibu” menjadi kalimat “dengan nama Pendeta Valentine” sehingga dapat menggiring para pemuda tersebut dengan agama Kristen.

Versi lain mengatakan St.Valentine ditanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus.

Itulah sejarah Valentine’s Day yang sebenarnya, yang seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Sayangnya, Valentine sudah kadung menjadi hari yang istimewa, bagi para remaja, termasuk remaja Muslim. Kebanyakan mereka hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal-muasalnya, sehingga tanpa disadari mereka telah terseret arus Barat dan mengekor ritual agama lain. Padahal Allah SWT memperingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isra’: 36)

Meski sudah jelas asal-usul kekafirannya, remaja-remaja ABG masih saja larut dalam tradisi Valentine’s Day. Menurut Samson Rahman, alumni International Islamic University, Islamabad, Pakistan, ada beberapa faktor yang menyeret remaja-remaja ABG ke dalam tradisi ini:

Pertama, remaja muslim kita tidak tahu latar belakang sejarah Valentine’s Day sehingga mereka tidak merasa risih untuk mengikutinya. Dengan kata lain, remaja muslim banyak yang memiliki kesadaran sejarah yang rendah.

Kedua, adanya anggapan bahwa Valentine’s Day sama sekali tidak memiliki muatan agama dan hanya bersifat budaya global yang mau tidak mau harus diserap oleh siapa saja yang kini hidup di -meminjam istilah McLuhan- global village.

Ketiga, keroposnya benteng pertahanan religius remaja kita sehingga tidak mampu lagi menyaring budaya dan peradaban yang seharusnya mereka “lawan” dengan keras.

Keempat, adanya perasaan loss of identity kalangan remaja muslim sehingga mereka mencari identitas lain sebagai pemuas keinginan mendapat identitas global.

Kelima, hanya mengikuti trend yang sedang berkembang agar tidak disebut ketinggalan zaman.

Keenam, adanya pergaulan bebas yang kian tak terbendung dan terjadinya desakralisasi seks yang semakin ganas.

Merayakan Valentine menyeret kepada kekafiran

Janganlah terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, karena kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan umat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan:

“Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?' Baginda bersabda: 'Kalau bukan mereka, siapa lagi?'” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Said Al-Khudri)

Lebih jauh lagi, Rasulullah memperingatkan bahaya tasyabbuh: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (gaya hidup dan adat-istiadatnya), maka ia termasuk golongan tersebut.” (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad dari Ibnu Umar)

Jika sudah jelas bahwa Valentine’s Days adalah upacara agama kafir, lalu para remaja Muslim ikut-ikutan merayakan perayaan Valentine, apakah mereka nekad mau dikatakan sebagai golongan kaum kafir?

Jangan tertipu!!!

Minggu, 30 Agustus 2009

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad saw.

Oleh: Anonim

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya-tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab Badui menemui Umar dan dia meminta, "Ceritakan padaku akhlak Muhammad!" Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh arab Badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!" Badui ini menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini...." Ali menjawab, "Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung!" (QS. Al-Qalam: 4)

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r. a. Isteri Nabi yang sering disapa "Khumairah" oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur'an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur'an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Al-Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak Qur'an Surat Al-Mu'minun ayat 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "Ah semua perilakunya indah." Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. "Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, 'Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.'" Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad juga-lah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang shubuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, "Berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekali pun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul yang mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadits, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakar-lah yang diminta menjadi imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat lain disebutkan, "Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, "Ya Rasul apa maksud (ta'wil) mimpimu itu?" Rasul menjawab, "Ilmu pengetahuan."

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Utsman karena itu Utsman menikahi dua putri Nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik."

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah... ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur'an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan "Wahai Nabi". Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabat pun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: "Angkat Al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai pemimpin." Kata Umar, "Tidak, angkatlah Al-Aqra' bin Habis." Abu Bakar berkata ke Umar, "Kamu hanya ingin membantah aku saja." Umar menjawab, "Aku tidak bermaksud membantahmu." Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamendengar dan Mahamengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. Janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya." (QS. Al-Hujurat: 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, "Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia." Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etika berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, jika kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami."

Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekali pun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah," kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak Nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapa pun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? "Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu." Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang Mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap "membereskan" orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, "Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu! Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, "Allahu Akbar" berkali-kali. Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah.....

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, "Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?" Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, "Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah.....?" Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, "Benar ya Rasul!"

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, "Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah!" Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah. "Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah."

Sabar Menghadapi Ulah Anak

Oleh : Aburashif

Waktu saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya kerap mengikuti shalat Jum'at bersama banyak teman sekelas saya. Pada satu kesempatan shalat Jum'at, kami agak riuh bercakap-cakap ketika khatib sedang menyampaikan khutbah. Maklumlah, kami masih anak-anak kecil. Belum tahu banyak soal fikih atau aturan sunnah berkenaan dengan shalat Jum'at.

Saat kami asyik berguyon di shaf belakang shalat Jum'at waktu itu, seorang lelaki seumur Ayah menegur kami dengan keras. Tangannya ditepukkan pada bahu salah satu teman. Kontan saja kami berhenti mengobrol beberapa saat. Namun karena khatib membahas hal yang tak bisa kami mengerti, akhirnya kami tak tahan untuk kembali meneruskan obrolan. Kami terus mengobrol sampai khatib selesai berceramah. Tak kami pedulikan, tatap tajam dan gerundelan si Bapak penegur ke arah kami.

Setelah usai shalat, Bapak itu menghampiri kami lagi. Tak saya duga sebelumnya, ia lantas menampar saya, "setan kecil" yang kebetulan paling dekat dalam jangkauannya. "Dasar anak setan!" bentaknya pada kami sambil menampar dua kali. Sembari menahan sakit dan tangis karena malu, saya berlalu dari masjid itu. Jum'at berikutnya, saya dan beberapa orang teman sekelas tidak lagi mengikuti shalat Jum'at di masjid itu. Meski masjid itulah yang terdekat dengan sekolah kami, namun kami masih memendam trauma atas kejadian yang menimpa saya pada Jum'at sebelumnya.

Hari Jum'at yang baru lalu, saya melaksanakan shalat Jum'at di masjid raya kota Bandung. Seusai shalat, telinga saya menangkap suara ribut-ribut di bagian shaf belakang. Di bagian shaf belakang itu, seorang anak tampak menangis di antara teman-teman sebaya. Karena penasaran saya pun pergi menghampiri mereka. Saya tanyakan penyebab anak itu menangis begitu keras. Ternyata, anak itu baru saja dijewer seorang jama'ah yang merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Saya pun mencoba menghibur dengan memberikan uang jajan ala kadarnya. Dan syukur alhamdulillah, tangis si anak berangsur-angsur mereda. Sambil mengucapkan terima kasih, si anak pun lantas pergi bersama rombongan kawan-kawannya. Persis seperti saya, ia mengalami perlakuan kasar itu, pada saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Dari kejadian yang menimpa saya dan anak tadi, saya kira ada yang mesti digugah pada hati dan nurani setiap orang tua atas kewajiban mereka dalam memberikan contoh suri tauladan. Orang tua harus menyadari bahwa mereka diamanahi tanggung jawab besar terhadap perkembangan fisik dan mental seorang anak tanpa pengecualian anak kandung atau anak orang lain yang kebetulan berpapasan. Dzhalim, jika orang tua berlaku kasar terhadap seorang anak, kendatipun sang anak nyata memang berbuat ulah. Sepatutnya orang tua menunjukkan sikap baik penuh kelembutan, agar sang anak mampu mengambil hikmah keteladanan dari perlakuan manis tersebut. Bukankah Rasulullah saw. saja mampu bersabar bangkit dari sujudnya, di saat Hasan dan Husein, kedua cucunya itu menunggangi pundak beliau di kala shalat.

Orang tua tentunya kerap dibuat gusar, gelisah, tak enak, di saat anak-anaknya berbuat ulah. Ada yang bisa menyikapinya dengan tenang, sabar, lantas melakukan pendekatan persuasif dengan cara membuka komunikasi yang hangat saat menegur sang anak. Adapula orang tua yang bertindak represif. Menegur dengan hardikan, memukul bagian tubuh si anak ketika dia berbuat ulah.

Sikap terbaik dalam menghadapi ulah anak tentunya terdapat pada opsi yang pertama, yaitu menegur anak lewat komunikasi yang hangat dan terbuka. Bisa dengan memanggil atau mencegah kenakalan anak dengan bertingkah jenaka. Penanganan represif terhadap ulah seorang anak, malah akan berdampak buruk terhadap kualitas mentalnya, karena ia potensial mencontoh perilaku kasar kita. Bila anak sering kita perlakukan secara kasar, maka terhadap orang lain dan diri kita sendiri pun mereka tetap bertabiat kasar. Ketika saat itu tiba, kita tentu tidak adil jika malah menyalahkannya. Bukankah kita sendiri yang mengajarkan sikap demikian kepada si anak?

Orang tua perlu merenungkan makna dari perkataan bahwasanya seorang anak bagaikan selembar kertas putih. Kita sebagai orang tua yang memberi warna, menuliskan sesuatu di lembaran kertas putih tersebut. Artinya, jika kita ingin melihat akan jadi apa anak kita di masa yang akan datang, maka periksalah bagaimana sikap dan cara kita mendidiknya pada waktu sekarang.

Sebaiknya orang tua sering melakukan introspeksi. Dengan begitu, setiap orang tua akan dapat mengevaluasi dan memperbaiki kualitas metode pendidikan dalam mengembangkan potensi sang anak, yang berarti mengupayakan kebaikan untuk keluarganya pula. Sebagai orang tua, kita pun memiliki tanggung jawab yang tak kurang besarnya terhadap anak-anak selain anak kita sendiri. Pada hakikatnya mereka adalah anak-anak kita juga. Generasi penerus yang akan menyambung perjuangan dan dakwah demi tegaknya Dinul Islam di muka bumi. Janganlah seorang anak dicontohi dan dibuat trauma dengan kekasaran seperti kejadian yang pernah saya alami dan penulis ceritakan pada paragraf awal. Dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya, hal-hal demikian memiliki pengaruh besar terhadap kondisi kejiwaan seorang anak. Na'udzubillah, tsumma na'udzubillah, bila mana kita memegang andil dalam degradasi mental seorang anak yang merupakan amanah besar untuk diri kita.

Maka sebagai orang tua, mari kita dahulukan sikap sabar, dalam menghadapi setiap ulah anak kita maupun ulah anak-anak lain, yang kebetulan berinteraksi dengan kita. Orang tua sepatutnya istiqamah memberikan contoh perilaku terpuji, agar kebutuhan mereka akan figur panutan dapat terpenuhi, sehingga mereka tumbuh dewasa berhiaskan akhlaqul karimah.

Dalam Tujuh Hari yang Telah Lalu dan Mungkin Akan Terulang Kembali

Oleh: Anonim

Hari pertama, tahajudku tetinggal
Dan aku begitu sibuk akan duniaku
Hingga dzuhurku, kuselesaikan saat ashar mulai memanggil
Dan sorenya kulewati saja masjid yang mengumandangkan adzan maghrib
Dengan niat kulakukan bersama isya itu pun terlaksana setelah acara televisi selesai

Hari kedua, tahajudku tertinggal lagi
Dan hal yang sama aku lakukan sebagaimana hari pertama

Hari ketiga aku lalai lagi akan tahujudku
Temanku memberi hadiah novel best seller yang lebih dari 200 halaman
Dalam waktu tidak satu hari aku telah selesai membacanya
Tapi... enggan sekali aku membaca Al-qur'an walau cuma satu juzz
Al-qur'an yang 114 surat, hanya satu hingga dua surat yang kuhapal itu pun dengan terbata-bata
Tapi... ketika temanku bertanya tentang novel tadi betapa mudah dan lancarnya aku menceritakan

Hari keempat kembali aku lalai lagi akan tahajudku
Sorenya aku datang ke mesjid dengan niat mengaji
Tapi kubiarkan ustazdku yang sedang mengajarkan kebaikan
Kubiarkan ustadzku yang sedang mengajarkan lebih luas tentang agamaku
Aku lebih suka mencari bahan obrolan dengan teman yang ada di samping kiri dan kananku
Padahal bada maghrib tadi betapa sulitnya aku merangkai
Kata-kata untuk kupanjatkan saat berdoa

Hari kelima kembali aku lupa akan tahajudku
Kupilih shaf paling belakang dan aku mengeluh saat imam shalat Jum'at kelamaan bacaannya
Padahal betapa dekat jaraknya aku dengan televisi dan betapa nikmat serunya saat perpanjangan waktu sepak bola favoritku tadi malam

Hari keenam aku semakin lupa akan tahajudku
Kuhabiskan waktu di mall dan bioskop bersama teman-temanku
Demi memuaskan nafsu mata dan perutku sampai puluhan ribu tak terasa keluar
Aku lupa .. waktu diperempatan lampu merah tadi
Saat wanita tua mengetuk kaca mobilku
Hanya uang dua ratus rupiah kuberikan itu pun tanpa menoleh

Hari ketujuh bukan hanya tahajudku tapi shubuhku pun tertinggal
Aku bermalas-malasan ditempat tidurku menghabiskan waktu
Selang beberapa saat dihari ketujuh itu juga
Aku tersentak kaget mendengar kabar temanku kini
Telah terbungkus kain kafan padahal baru tadi malam aku bersamanya dan tiga perempat malam tadi dia dengan misscallnya mengingat aku tentang tahajud
Kenapa aku baru gemetar mendengarnya?
Padahal dari dulu sayap-sayapnya selalu mengelilingiku dan
Dia bisa hinggap kapan pun dia mau

Seperempat abad lebih aku lalai....
Dari hari ke hari, bulan dan tahun
Yang wajib jarang aku lakukan apalagi yang sunnah
Kurang mensyukuri walaupun KAU tak pernah meminta
Berkata kuno akan nasehat kedua orang tuaku
Padahal keringat dan airmatanya telah terlanjur menetes demi aku

Tuhan andai ini merupakan satu titik hidayah
Walaupun imanku belum seujung kuku hitam
Aku hanya ingin detik ini hingga nafasku yang saat nanti tersisa
Tahajud dan shalatku meninggalkan bekas
Saat aku melipat sajadahku.....

Amin....

Bila di dunia ada syurga, maka itulah kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bila di dunia ada neraka, maka itulah kehidupan rumah tangga yang tak selaras dan jauh dari agama.

Bahagialah mereka yang diamnya berpikir,
memandangnya mengambil pelajaran,
mendengarnya mengambil hikmah, dan
dalam tindakannya mengenal indahnya ajaran Islam.

Pemberian Terbaik

Oleh: Anonim

Suatu ketika, hiduplah seorang petani bersama keluarganya. Mereka menetap di sebuah kerajaan yang besar, dengan raja yang adil dan bijaksana. Beruntunglah siapa saja yang tinggal disana. Tanahnya subur, keadaannya pun aman dan sentosa. Semuanya hidup berdampingan, tanpa pernah mengenal perang atau pun bencana.

Setiap pagi, sang petani selalu pergi ke sawah. Tak lupa ia membawa bajak dan kerbau peliharaannya. Walaupun sudah tua, namun bajak dan kerbau itu selalu setia menemaninya bekerja. Sisi-sisi kayu dan garpu bajak itu tampak mengelupas, begitu pun kerbau yang sering tampak letih jika bekerja terlalu lama. "Inilah hartaku yang paling berharga", demikian gumam petani itu dalam hati, sembari melayangkan pandangannya ke arah bajak dan kerbaunya.

Tak seperti biasa, tiba-tiba ada serombongan pasukan yang datang menghampiri petani itu. Tampak pemimpin pasukan yang maju, lalu berkata, "Berikan bajak dan kerbaumu kepada kami. Ini perintah Raja!" Suara itu terdengar begitu keras, mengagetkan petani itu yang tampak masih kebingungan.

Petani itu lalu menjawab, "Untuk apa, sang Raja menginginkan bajak dan kerbauku? Ini adalah hartaku yang paling berharga, bagaimana aku bisa bekerja tanpa itu semua." Petani itu tampak menghiba, memohon agar diberikan kesempatan untuk tetap bekerja. "Tolonglah, kasihani anak dan istriku...berilah kesempatan sampai besok. Aku akan membicarakan dengan keluargaku..."

Namun, pemimpi pasukan berkata lagi, "Kami hanya menjalankan perintah dari Baginda. Terserah, apakah kau mau menjalankannya atau tidak. Namun, ingatlah, kekuasaannya sangat kuat. Petani semacam kau tak akan mampu melawan perintahnya." Akhirnya, pasukan itu berbalik arah, dan kembali ke arah istana.

Di malam hari, petani pun menceritakan kejadian itu dengan keluarganya. Mereka tampak bingung dengan keadaan ini. Hati bertanya-tanya, "Apakah Baginda sudah mulai kehilangan kebijaksanaannya? Kenapa Baginda tampak tak melindungi rakyatnya dengan mengambil bajak dan kerbau kita?" Gundah dan resah melingkupi keluarga itu. Namun, akhirnya mereka hanya bisa pasrah dan memilih untuk menyerahkan kedua benda itu kepada Raja.

Keesokan pagi, sang petani tampak pasrah. Bersama dengan bajak dan kerbaunya, ia melangkah menuju arah istana. Petani itu ingin memberikan langsung hartanya yang paling berharga itu kepada Raja. Tibalah ia di halaman istana, dan langsung di terima Raja. "Baginda, hamba hanya bisa pasrah. Walaupun hamba merasa sayang dengan harta itu, namun hamba ingin membaktikan diri kepada Baginda. Duli Paduka, terimalah pemberian ini...."

Baginda Raja tersenyum. Sambil menepuk kedua tangannya, ia tampak memanggil pengawal. "Pengawal, buka selubung itu!!" Tiba-tiba, terkuaklah selubung di dekat taman. Ternyata, disana ada sebuah bajak yang baru dan kerbau yang gemuk. Kayu-kayu bajak itu tampak kokoh, dengan urat-urat kayu yang mengkilap. Begitu pun kerbau, hewan itu begitu gemuk, dengan kedua kaki yang tegap.

Sang Petani tampak kebingungan. Baginda mulai berbicara, "Sesungguhnya, aku telah mengenal dirimu sejak lama. Dan aku tahu kau adalah petani yang rajin dan baik. Namun, aku ingin mengujimu dengan hal ini. Ternyata, kau memang benar-benar hamba yang baik. Engkau rela memberikan hartamu yang paling berharga untukku. Maka, terimalah hadiah dariku. Engkau layak menerimanya...."

Petani itu pun bersyukur dan ia pun kembali pulang dengan hadiah yang sangat besar, buah kebaikan dan baktinya pada sang Raja.

***

Teman, bisa jadi, tak banyak orang yang bisa berlaku seperti petani tadi. Hanya sedikit orang yang mau memberikan harta yang terbaik yang dimilikinya kepada yang lain. Namun, petani tersebut adalah satu dari orang-orang yang sedikit itu. Dan ia, memberikan sedikit pelajaran buat kita.

Sesungguhnya, Allah sering meminta kita memberikan terbaik yang kita punya untuk-Nya. Allah, sering memerintahkan kita untuk mau menyampaikan yang paling berharga, hanya ditujukan pada-Nya. Bukan, bukan karena Allah butuh semua itu, dan juga bukan karena Allah kekurangan. Namun karena sesungguhnya Allah Maha Kaya, dan Allah sedang menguji setiap hamba-Nya.

Allah sedang menguji, apakah hamba-Nya adalah bagian dari orang-orang yang beriman dan mau bersyukur. Allah sedang menguji, apakah ada dari hamba-hamba-Nya yang mau menafkahkan harta di jalan-Nya. Dan Allah, pasti akan memberikan balasan atas upaya itu dengan pemberian yang tak akan kita bayangkan. Imbalan dan pahala yang akan kita terima, sesungguhya akan mampu membuat kita paham, bahwa Allah memang Maha Pemberi Kemuliaan.

Dan teman, mari kita berikan yang terbaik yang kita punya kepada-Nya. Marilah kita tujukan waktu, kerja dan usaha kita yang terbaik hanya kepada-Nya. Karena sesungguhnya memang, kita tak akan pernah menyadari balasan apa yang akan kita terima atas semua itu.

Allah selalu punya banyak cara-cara rahasia untuk memberikan kemuliaan bagi hamba-Nya. Dan Dia akan selalu memberikan pengganti yang lebih baik untuk semua yang ikhlas kita berikan pada-Nya.

Doa untuk Kekasih...

Oleh: Anonim

Untuk seseorang yang telah mengisi ruang hati yang dulu hampa...

Allah yang Maha Pemurah...

Terima kasih Engkau telah menciptakan dia
dan mempertemukan saya dengannya.

Terima kasih untuk saat-saat indah
yang dapat kami nikmati bersama.

Terima kasih untuk setiap pertemuan
yang dapat kami lalui bersama.

Saya datang bersujud dihadapan-MU...

Sucikan hati saya ya Allah, sehingga dapat melaksanakan kehendak dan rencana-MU dalam hidup saya.

Ya Allah, jika saya bukan pemilik tulang rusuknya, janganlah biarkan saya merindukan kehadirannya...
janganlah biarkan saya, melabuhkan hati saya dihatinya..
kikislah pesonanya dari pelupuk mata saya dan jauhkan dia dari relung hati saya...

Gantilah damba kerinduan dan cinta yang bersemayam di dada ini dengan kasih dari dan pada-MU yang tulus, murni...
dan tolonglah saya agar dapat mengasihinya sebagai sahabat.

Tetapi jika Engkau ciptakan dia untuk saya...
ya Allah tolong satukan hati kami...
bantulah saya untuk mencintai, mengerti dan menerima dia seutuhnya...
berikan saya kesabaran, ketekunan dan kesungguhan untuk memenangkan hatinya...

Ridhai dia, agar dia juga mencintai, mengerti dan mau menerima saya dengan segala kelebihan dan kekurangan saya
sebagaimana telah Engkau ciptakan...

Yakinkanlah dia bahwa saya sungguh-sungguh mencintai dan rela membagi suka dan duka saya dengan dia...

Ya Allah Maha Pengasih, dengarkanlah doa saya ini...
lepaskanlah saya dari keraguan ini menurut kasih dan kehendak-MU...

Allah yang Maha kekal, saya mengerti bahwa Engkau senantiasa memberikan yang terbaik untuk saya...
luka dan keraguan yang saya alami, pasti ada hikmahnya.

Pergumulan ini mengajarkan saya untuk hidup makin dekat kepada-MU untuk lebih peka terhadap suara-MU yang membimbing saya menuju terang-MU...

Ajarkan saya untuk tetap setia dan sabar menanti tibanya waktu yang telah Engkau tentukan....

Jadikanlah kehendak-MU dan bukan kehendak saya yang menjadi dalam setiap bagian hidup saya...

Ya Allah, semoga Engkau mendengarkan dan mengabulkan permohonanku.

Amien.

Mencari Kebahagiaan

Oleh: Anonim

Suatu hari di sebuah sungai yang cukup jernih, hiduplah seekor ikan kecil muda usia. Saat itu, siang sangat terik, Sang Ikan mencari bagian sungai yang ternaungi pohon yang rindang. Sesekali dipukulkannya ekornya pada air di sekelilingnya.
Saat Sang Ikan sibuk dengan air yang menciprati tubuhnya, tiba-tiba terdengarlah suara dari balik rimbun pepohonan, “Ayah, indah sekali pemandangan di sini, yach! Pepohonan begitu rimbun, dan air sungai ini begitu jernih,” seru seorang anak kecil pada ayahnya.

“Yach … Alhamdulillah … itulah kebesaran Allah, Nak! Ia menciptakan sesuatu tanpa cela, hanya manusia saja yang kurang bersyukur” kata Sang Ayah sambil mengelus kepala anak kecil itu dengan lembut.

“Katanya air itu sangat penting, ya, Yah? Dan … tanpanya kita semua akan mati?” tanya anak kecil itu pada Ayahnya.

“Ya, benar! Air itu sangat penting bagi kita. Setiap makhluk hidup membutuhkan air dan oleh karena itu kita bisa mati tanpa ada air dalam kehidupan kita, seperti juga ikan kecil itu!” seru Sang Ayah sambil menunjuk ikan kecil.

Si ikan kecil yang mengikuti percakapan antara Ayah dan anak itu mendadak menjadi gelisah. “Air, apa itu air? Di mana dapat kutemukan air? Bagaimana jika aku mati bila aku tak dapat menemukan air secepat mungkin?" tanya si ikan dalam hatinya sambil berenang dengan panik. Si ikan kecil berenang tanpa kenal henti.

Ketika ikan kecil mendekati hulu sungai, bertemulah ikan kecil tersebut dengan seekor ikan “sepuh”. Setelah menyampaikan salam kemudian ikan kecil itu bertanya, “Wahai ikan sepuh, dapatkah kau tunjukkan padaku, di mana air? Aku mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kita akan mati!” seru si ikan kecil.

Ikan sepuh tersenyum bijak, kemudian berkata, “Anakku, tentu saja aku tahu di mana air, sekarang coba kau lihat samping kanan dan kirimu, lihat sekelilingmu, apa yang kau lihat?”

“Ya, ada benda yang mengelilingiku tiap waktu, kadang ia tenang dan bergelombang, dia membantuku untuk berenang, dia yang membasahi tubuhku, menghilangkan dahagaku, dan aku bisa mati kekeringan tanpa kehadirannya,” gumam si ikan kecil.

Ikan sepuh tersenyum lagi, “Ya, itulah air yang kau cari selama ini, anakku. Itulah air yang membuat kita semua dapat mati bila hidup tanpa kehadirannya."

Si ikan kecil tertegun, kemudian tersenyum, “Terimakasih, ikan sepuh. Sekarang aku bisa menghentikan proses pencarianku. Aku bahagia bisa menemukan apa yang aku cari. Ternyata benda yang sangat penting yang selama ini aku cari sudah berada bersamaku sejak dulu tapi aku tidak menyadarinya” ucap si ikan kecil. Si ikan kecil kemudian memutar siripnya setelah sebelumnya berpamitan kepada ikan sepuh.

KITA MANUSIA, SERINGKALI TAK KUNJUNG MERASA PUAS AKAN PENEMPATAN YANG ALLAH BERIKAN PADA KITA. Dan kita seringkali tak sadar bahwa mungkin sebenarnya saat kita melakukan pencarian, ketika kita sedang letih … sebenarnya kita justru sedang menjalani kebahagiaan tersebut.

Karena kita seringkali tertipu, dengan arus air yang tidak selamanya tenang, karena kebahagiaan pun seringkali tidak mesti berwujud ketenangan. Karena kebahagiaan pun seringkali berwujud “riak-riak ombak” dalam kehidupan kita…. Tapi kita akan merasa bahagia bila kita nikmati dan lalui dengan sabar.

Saat Diri Harus Beranjak Pergi

Oleh: Abu Aufa

Jiwa meregang...
Tubuh pun bergetar hebat, berbaur jeritan ketakutan atau linangan air mata bahagia karena ingin bertemu Rabb-nya.

Ditarik, dan dicerabut dari setiap urat nadi, syaraf, dan akar rambut. Ini sebuah titah, ia harus kembali kepada pemilik-Nya.
Allahu Akbar, janji-Mu telah tiba.

Yaa Robbi..., alangkah sakit dan pedih.
Perih laksana tiga ratus tusukan pedang, atau ringan bagaikan sebuah pengait saat dimasukkan dan ditarik dari gumpalan bulu yang basah. Duhai jiwa, seandainya engkau tahu bahwa sakaratul maut itu lebih ngeri dan dahsyat dari semua sketsa yang ada.

Sayup terdengar lantunan ayat suci Al-Qur'an, dan sesegukan air mata yang tumpah. Lalu, hening berbalut sepi.
Semakin hening, bening..., menggantikan hingar bingar dunia di kala pagi yang penat dan siang yang meranggas. Diam pun menyisakan kepiluan, kesedihan atau berjuta kenangan. Dia telah pergi, dan tak akan pernah kembali.

Yaa Allah..., inikah kepastian yang telah Engkau tetapkan?

Di mana tumpukan harta yang telah terkumpul sekian lama? Pelayan yang setia, rumah mewah, kendaraan, kebun rindang dan subur, pakaian yang indah, dan orang-orang tercinta, dimanakah kini kalian berada? Semua telah direnggut kematian, dicampakkan, dan dihempaskannya kenikmatan dunia yang dahulu terlalu dielu-elukan. Adakah segala amanah dapat menuai pahala, duhai Allah.

Kegelapan pun menyeruak, hitam pekat laksana jelaga, sungguh mengerikan sebagian jiwa yang akan berteman dengan amalan jahat hingga tibanya hari kiamat. Mencekam, berbaur jeritan keras memekakkan telinga, "Jangan Kau datangkan kiamat yaa Allah, sungguh aku disini sudah sangat tersiksa!!!" saat diperlihatkan tempatnya di neraka.

Bagi sebagian lainnya, alam kubur justru membuat bahagia. Berteman amal shaleh yang diibaratkan sebagai manusia dengan paras sangat menyenangkan. Lalu ia pun menjerit, menangis bahagia saat ditunjukkan tempatnya di surga, "Datangkan hari kiamat sekarang yaa Allah, aku ingin segera ke sana!!!"

Kematian...
Erat menyiratkan takut dan pilu serta lantunan senandung duka. Menciptakan nada-nada pedih dan gamang yang kadang menghujam iman, hingga hati pun bertanya, mengapa selalu ada perpisahan? Rasa itu menghantam dan menikam pada keluarga yang ditinggalkan.

Namun kematian adalah suatu keniscayaan, karena ia telah dijanjikan. Kematian pun hakikatnya adalah sahabat akrab bagi setiap yang bernyawa. Sayang, kesadaran itu begitu menghentak saat orang-orang yang kita cinta-lah yang direnggutnya. Ketika itu auranya begitu dekat, serasa setiap helaan nafas beraroma kematian.

Duhai jiwa...
Sadarkah engkau bahwa kelak kuburan adalah tempat peristirahatan? Sudahkah engkau siapkan malam pertama di sana, seperti kau sibukkan diri menjelang malam pertama pernikahan? Tidakkah engkau tahu bahwa ia adalah malam yang sangat mengerikan, malam yang membuat orang-orang shaleh menangis saat memikirkannya.

Kau gerakkan lidah ini untuk membaca Al-Qur'an, tetapi tingkah lakumu tak pernah kau selaraskan. Kau kenal setan, tapi mereka kau jadikan teman. Kau ucapkan bahwa Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wasallam adalah kecintaan, namun sunnah-Nya kau tinggalkan. Kau katakan ingin masuk surga, tapi tak pernah berhenti berbuat dosa. Tak henti-hentinya kau sibukkan dirimu dengan kesalahan saudaramu sendiri, padahal engkau pun bukan manusia suci. Saat kau kebumikan sahabat-sahabat yang telah mendahului, mengapa kau mengira dirimu tak akan pernah mati?

Astaghfirullah al 'adzim...

Duhai Allah...
Engkau yang Maha Mendengar
Dengarkan munajat ini yaa Robbi, berilah kesempatan
untuk kami selalu memperbaiki diri
Jadikan diri ini bersih, hingga saat menghadap-Mu nanti

Allaahumma hawwin 'alainaa fii sakaraatil maut
Allaahumma hawwin 'alainaa fii sakaraatil maut
Allaahumma hawwin 'alainaa fii sakaraatil maut

Ringankan kematian kami yaa Allah, mudahkanlah duhai Pemilik Jiwa
Jadikan hati ini ikhlas saat malaikat maut menyapa
Hingga kematian menjadi sangat indah, kematian yang husnul khaatimah

Wallahua'lam bi showab.

Mengapa Wanita Mudah Menangis?

Oleh: Hari Teguh Patria

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya pada Ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab aku wanita".

"Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti....". Kemudian anak itu bertanya pada Ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis?, Ibu menangis tanpa sebab yang jelas." Sang Ayah menjawab, "Semua wanita memang sering menangis tanpa alasan." Hanya itu jawaban yang bisa diberikan Ayahnya.

Sampai kemudian si anak itu tumbuh menjadi remaja, ia tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan, "Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?"

Dalam mimpinya ia merasa seolah Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur. Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau kerap berulang kali ia menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa. Kepada wanita, Kuberikan kesabaran untuk merawat keluarganya walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan situasi apapun. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan dan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukankah tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak? Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya.

Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi.

Dan akhirnya Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapan pun ia inginkan.

Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya air mata ini adalah air mata kehidupan."

Lapangnya Dada

Oleh: Anonim

Pada suatu hari ada seorang pemuda yang datang ke rumah seorang kakek yang bijaksana. Pemuda tersebut merasakan hatinya sering gelisah, panik, stress, dan mudah tersinggung sehingga hal itu menyebabkannya selalu berada dalam medan konflik. Untuk itulah ia datang untuk meminta nasehat sang kakek. Kakek itu pun dengan sangat antusias menerima dan mempersilahkannya untuk masuk. Kemudian pemuda itu menceritakan seluruh keluh kesahnya. Sementara sang kakek mendengarkan dengan seksama. Setelah selesai, kakek itu masuk ke dalam rumah kemudian keluar dengan membawa segelas air putih.

"Silahkan diminum” kata sang kakek.
Betapa terkejutnya pemuda itu ketika ia meminum air yang dihidangkan oleh kakek itu.
“Ah… air apa ini kek? Kenapa rasanya asin sekali. Aku belum pernah minum air seasin ini”.

Sang kakek hanya tersenyum, kemudian mengajak pemuda tersebut ke halaman belakang rumahnya yang luas. Disana terdapat sebuah danau kecil yang airnya bening bersih. Terlihat pula seekor angsa berenang kian kemari. Sang kakek kemudian mendekati pinggir danau dan menaburkan segenggam garam ke seluruh danau sambil menyuruh pemuda itu minum air danau. Tentu saja pemuda itu merasakan air danau yang segar, sejuk dan jernih.

Sang kakek berkata, "Perumpaan gelas dan danau ini adalah seperti hati kita, dan garam sebagai permasalahannya. Terkadang bukan banyaknya masalah yang membuat hati resah, gelisah, dan lainnya. Tetapi karena kita tidak pandai melapangkan dada kita. Segenggam garam ternyata jadi sangat asin dan tidak enak apabila ditaruh pada segelas air. Namun segenggam garam tidak berarti apa-apa apabila kita memiliki hati seluas danau atau lebih luas dari itu."

Cerita diatas sangat menarik untuk disimak dan diresapi karena begitu mudahnya penyakit hati tumbuh berkembang di hati kita. Beratnya masalah tidak mempengaruhi kesehatan hati kalau kita bisa berlapang dada. Orang-orang yang sempit dada (hati), pasti akan merasakan hidup ini sumpek dan berat.

Hati adalah hal yang paling penting dari diri manusia. Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah, "Hati adalah raja, dan anggota tubuh lain adalah prajuritnya." Bahkan diterima atau tidaknya amal seorang anak manusia, tergantung dari hatinya. Allah mengingatkan kita mengenai pentingnya mengelola hati dengan menyuruh kita untuk tidak bersu’udzon karena sebagian darinya adalah dusta, serta selalu mengkonfirmasi setiap berita yang masuk ke kepala kita.

Rasulullah pun mengingatkan bahwa di dalam diri manusia ada segumpal daging yang kalau baik daging itu maka baik pula seluruh tubuh dan apabila jahat (jelek) maka jelek pula seluruh tubuh. Segumpal daging itu adalah hati.

Kadang rasanya berat sekali untuk melapangkan dada ini ketika dikecewakan dan disakiti oleh orang lain. Bahkan persoalan kecil pun akhirnya menjadi besar karena sempitnya hati ini. Hati yang sempit selalu membuat diri ini tidak mampu menerima kebenaran.

Dalam konsep Zeromind Process (Ary Ginanjar, ESQ) kita diingatkan untuk selalu kembali ke fitrah atau hati nurani (Zeromind) sebelum melakukan dan memutuskan apapun. Hal-hal yang biasanya menghambat dalam melapangkan dada diantaranya adalah prasangka negatif, pengaruh prinsip hidup, pengaruh pengalaman, pengaruh pembanding, pengaruh kepentingan dan prioritas, pengaruh sudut pandang, dan pengaruh literatur.

Wallahu’alam bi showab.

Menanti Pergi Yang Tak Kembali

Oleh: Nur Mawaddah

Yang muda yang bersantai diri
Yang tua yang mengingat mati
Mengapa yang muda tak hiraukan Ilahi
Mengapa yang tua sibuk mengingati

Karenakah yang tua merasa dekati mati
Karenakah yang muda masih lama mati
Tidakkah kita bersadar diri
Ajal dini bisa menjemput diri

Sesungguhnya...

Tiada sia-sia tiap sesuatu dicipta-Nya
Melainkan setiapnya penuh manfaat
Sarat petunjuk dan peringatan
Bagi orang-orang yang memperhatikan

Sayang nian banyak tiada menyadari
Begitu banyak manusia melalaikan diri
Terbuai tipu daya duniawi
Terlupa kampung halaman tempat kembali

~untuk diriku yang sering lupa~

Dimanakah Tsa'labah Sekarang?

Oleh: Anonim

Seorang sahabat Nabi yang amat miskin datang pada Nabi sambil mengadukan tekanan ekonomi yang dialaminya. Tsa'labah, nama sahabat tersebut, memohon Nabi untuk berdo'a supaya Allah memberikan rezeki yang banyak kepadanya.

Semula Nabi menolak permintaan tersebut sambil menasehati Tsa'labah agar meniru kehidupan Nabi saja. Namun Tsa'labah terus mendesak. Kali ini dia mengemukakan argumen yang sampai kini masih sering kita dengar, "Ya Rasul, bukankah kalau Allah memberikan kekayaan kepadaku, maka aku dapat memberikan kepada setiap orang haknya."

Nabi kemudian mendo'akan Tsa'labah. Tsa'labah mulai membeli ternak. Ternaknya berkembang pesat sehingga ia harus membangun peternakan agak jauh dari Madinah. Seperti bisa diduga, setiap hari ia sibuk mengurus ternaknya. Ia tidak dapat lagi menghadiri shalat berjama'ah bersama Rasul di siang hari. Hari-hari selanjutnya, ternaknya semakin banyak, sehingga semakin sibuk pula Tsa'labah mengurusnya. Kini, ia tidak dapat lagi berjama'ah bersama Rasul. Bahkan menghadiri shalat Jum'at dan shalat jenazah pun tak bisa dilakukan lagi.

Ketika turun perintah zakat, Nabi menugaskan dua orang sahabat untuk menarik zakat dari Tsa'labah. Sayang, Tsa'labah menolak mentah-mentah utusan Nabi itu. Ketika utusan Nabi datang hendak melaporkan kasus Tsa'labah ini, Nabi menyambut utusan itu dengan ucapan beliau, "Celakalah Tsa'labah!"

Nabi murka, dan Allah pun murka! Saat itu turunlah Qur'an Surat At-Taubah ayat 75-78,

"Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh."

Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).

Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.

Tidaklah mereka tahu bahwasannya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasannya Allah amat mengetahui yang ghaib?"

Tsa'labah mendengar ada ayat turun mengecam dirinya, ia mulai ketakutan. Segera ia temui Nabi sambil menyerahkan zakatnya. Akan tetapi Nabi menolaknya, "Allah melarang aku menerimanya." Tsa'labah menangis tersedu-sedu. Setelah Nabi wafat, Tsa'labah menyerahkan zakatnya kepada Abu Bakar, kemudian Umar, tetapi kedua Khalifah itu menolaknya. Tsa'labah meninggal pada masa Utsman.

Dimanakah Ts'alabah sekarang?

Jangan-jangan kitalah Tsa'labah-Tsa'labah baru yang dengan linangan air mata memohon agar rezeki Allah turun kepada kita, dan ketika rezeki itu turun, dengan sombongnya kita lupakan ayat-ayat Allah.

Bukankah kita dengan alasan sibuk berbisnis tak lagi sempat shalat lima waktu. Bukankah dengan alasan ada "meeting penting" kita lupakan perintah untuk shalat Jum'at. Bukankah ketika ada yang meminta sedekah dan zakat, kita ceramahi mereka dengan cerita bahwa harta yang kita miliki ini hasil kerja keras, siang-malam membanting tulang, bukan turun begitu saja dari langit, lalu mengapa orang-orang mau enaknya saja minta sedekah tanpa harus kerja keras.

Kitalah Tsa'labah....Tsa'labah ternyata masih hidup dan "mazhab"-nya masih kita ikuti...

Konon, ada riwayat yang memuat saran Nabi Muhammad saw. (dan belakangan digubah menjadi puisi oleh Taufiq Ismail),

"Bersedekahlah, dan jangan tunggu satu hari nanti di saat engkau ingin bersedekah tetapi orang miskin menolaknya dan mengatakan 'kami tak butuh uangmu, yang kami butuhkan adalah darahmu'!"

Dahulu Tsa'labah menangis di depan Nabi yang tak mau menerima zakatnya. Sekarang ditengah kesenjangan sosial di negeri kita, jangan-jangan kita bukan hanya akan menangis namun berlumuran darah ketika orang miskin menolak sedekah dan zakat kita!

Mean of Friendship for Me

Oleh: Anonim

Ketika mulai mengenal arti kata “SAHABAT" sekitar delapan tahun yang lalu, selalu ada tanya yang terlontar: “Apa arti persahabatan bagimu”
Maka jawaban yang terucap adalah: ”Sebuah wadah tempat berbagi suka dan duka”, sebuah jawaban yang klise. Lalu muncul sebuah pertanyaan baru: “Bagaimana gambaran sahabat yang ideal dalam bayanganmu?”, maka jawabannya adalah: “Orang yang siap berbagi suka dan duka”, sangat klise.

Maka terlontarlah pertanyaan terakhir: “Apa yang membuatmu mau bersahabat denganku?”. Maka jawabnya hanyalah tatap dan senyum tanpa suara, sebuah jawab dari tanya yang memiliki beribu makna yang sulit ditafsirkan. Sungguh, tiada yang lebih indah dari sebuah persahabatan, yang karenanya maka terbukalah beribu cakrawala baru yang mampu mengubah segalanya dalam kehidupan seseorang. Apalagi saat kedua belah pihak bisa saling menyesuaikan diri dan saling menerima apa adanya.

Subhanallah…Tapi, saat realitas sang sahabat tak sesuai dengan bayangan idealnya, maka hal itu bisa menorehkan kekecewaan yang teramat dalam, yang bisa mengakibatkan dirinya tak percaya lagi pada arti “SAHABAT". Hal itu bisa saja terjadi, karena kurangnya pemahaman seseorang terhadap konsep Ukhuwah Fillah, sebuah ikatan persahabatan, ikatan persaudaraan yang berlandaskan keridhaan Allah Swt. Subhanallah… Alangkah indah jika ukhuwah terjalin karena terpautnya hati oleh iman dan aqidah. Kalimat yang selalu terngiang-ngiang sampai sekarang.

Subhanallah…tak bisa diungkapkan oleh kata-katanya keindahan berukhuwah itu. Namun, kembali, selalu ada kata yang mengusik: Who am I and who they are? Tapi jawaban yang kemudian didapat adalah senyum yang tulus, tatap yang teduh dan jabat yang erat. Ukhuwah itu indah, apalagi jika diikat oleh Allah, maka tanyamu hanya dapat terjawab oleh hati yang tulus… Kadang, ada saatnya diri merasa bahwa kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa dibanding sahabat-sahabat kita, hingga membuat kita minder dan merasa tak layak bersahabat dengan mereka. Adalah menjadi beban ketika perasaan itu melanda dan kita berada di tengah-tengah orang-orang yang ‘hebat’.

Namun, kemudian timbul asa baru. Keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia berbeda-beda. Kekurangan yang ada pada diri seseorang mungkin justru adalah kelebihan yang ada pada diri kita. Begitu pula sebaliknya. Dan jika itu berupa kebaikan, semoga menjadi spirit bagi kita untuk memacu diri agar kita bisa lebih baik lagi dari orang lain. Lain waktu, seorang sahabat pernah berkata, hidup ini akan terasa lapang, jika kita bisa menerima orang lain apa adanya, dan selalu berbaik sangka terhadap sesama, meskipun sikapnya terhadap kita justru sebaliknya. Subhanallah…mudah-mudahan hamba bisa menjadi orang yang berlapang dada. Lima tahun yang lalu, seorang sahabat lagi pernah bilang, bahwa baginya, persahabatan dan sahabat berarti baginya daripada sekedar pacar dan pacaran. Sahabat adalah keluarga kedua baginya, yang bernilai agung, dan takkan pernah terlepas selamanya (semoga…) Namun adakalanya, tidak semua konsep persahabatan bisa diterapkan begitu saja pada setiap orang. Apalagi bagi para ikhwan dan akhwat. Riskan sekali andaikata ada hubungan persahabatan yang terjalin diantara keduanya, karena ada benteng-benteng syar’iyyah yang harus dipatuhi, terkecuali jika mereka benar-benar bisa membentengi dirinya dengan benteng iman yang kokoh. Gadhul bashar adalah salah satu caranya.

Bukan hanya menjaga pandangan secara dhahir saja, tetapi yang lebih utama adalah menjaga pandangan batin, menjaga hawa nafsunya. Astaghfirullah…. Saya hanyalah makhluk yang lemah, yang belum mampu dan memang tidak akan pernah mampu menjadi manusia sesempurna itu. Namun insya Allah, jika saya telah mengaqadkan seseorang menjadi sahabat saya, maka selamanya ia adalah saudara saya. Terkecuali ia melakukan sebuah kesalahan yang mungkin sangat fatal dan sulit saya maafkan, maka mungkin akan cukup lama juga bagi saya untuk mengembalikan posisi hati seperti semula. Semoga Allah menjadikan saya orang yang mudah memaafkan.

Lebih Hebat dari Berzina

Oleh: Anonim

Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung. Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam duka cita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa rias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa as.

Diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk". Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya, doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya." "Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa as. terkejut. "Saya takut mengatakannya." jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa. Maka perempuan itupun terpatah bercerita, "Saya ......telah berzina." Kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak.

Perempuan itu meneruskan, "Dari perzinaan itu saya pun......lantas hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya....... cekik lehernya sampai......tewas", ucap wanita itu seraya menagis sejadi-jadinya. Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia menghardik," Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"...teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.

Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk ke luar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau di bawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa. Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertobat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?" Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril.

"Betulkah ada dosa yang lebih besar dari pada perempuan yang nista itu?" "Ada!" jawab Jibril dengan tegas. "Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran. "Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina".

Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut.

Nabi Musa menyadari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya. Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya.

Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy. Dalam hadist Nabi saw. disebutkan: Orang yang meninggalkan shalat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 Nabi dan bersetubuh dengan Ibunya di dalam Ka'bah.

Dalam hadist yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari di akhirat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.

Demikianlah kisah Nabi Musa dan wanita pezina dan dua hadist Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban shalat dengan istiqamah.