Senin, 14 September 2009

Tabayyun Dulu Saudaraku...

Oleh: Anonim

Kita terkadang terlalu yakin dengan pengetahuan diri. Kita merasa tahu segalanya sehingga seolah-olah memiliki otoritas untuk membuat kesimpulan mengenai sesuatu hal. Atau kalau menyangkut kepribadian orang lain, kita sering merasa tidak perlu informasi lebih lanjut karena kita merasa cukup pengetahuan mengenai jati diri orang itu sebenarnya.

Kesalahan terbesar seseorang adalah ketika ia menganggap dirinya telah cukup pengetahuan sehingga ia tidak memiliki itikad sedikit pun untuk melakukan cek ricek, tabayyun, konfirmasi balik. Tentang suatu kejadian, ia langsung menyimpulkan ini itu. Tentang diri seseorang, ia langsung menyimpulkan ini itu, menilai begini itu. Dengan pengetahuan sedikitnya, ia merasa sudah banyak pengetahuan. Dengan interaksinya dengan orang lain yang sebentar, ia merasa sudah berhak membuat kesimpulan mengenai diri seseorang itu padahal boleh jadi apa yang disimpulkannya itu hanya akan membuahkan fitnah dan kebohongan, jauh dari fakta sebenarnya. Keterbatasan yang dimilikinya tiada pernah disadari. Ia terjebak dalam ujub diri, merasa punya kemampuan untuk membuat penilaian terhadap sesuatu hal atau orang lain tanpa diiringi dengan sikap kehati-hatian. Maka ia pun mudah berkomentar tanpa dipikir lebih dalam lagi. Ia mudah menilai sesuatu tanpa mencari dulu fakta yang benar.

Yang lebih fatal lagi adalah ketika kecerobohan sikap ini disebarkan ke orang lain. Kalau menyangkut diri seseorang, maka betapa ia akan menumbuhkan sikap kebencian dari orang yang dirugikannya atas pemberitaan yang tidak benar. Prasangka dikira kebenaran. Prasangka melahirkan kebohongan. Prasangka yang tidak disertai tabayyun akan melahirkan kerenggangan hubungan sesama.

Tabayyun adalah mengecek kebenaran suatu berita, agar tidak simpang siur dan menimbulkan fitnah... setiap usaha untuk membelokkan kebenaran dianggap fitnah, jadi yang namanya gosip, walaupun gak berbahaya, tetap saja fitnah... dan ini lebih kejam dari pembunuhan, jadi masalah ini sangat sensitif dalam Islam...

Suatu ketika, Abdullah bin Ubay, seorang pemuka kaum di Madinah yang merasa 'tersingkir' akibat keberadaan Nabi Muhammad saw. pernah berkata-kata buruk tentang umat Islam... dia bicara di depan para pendukungnya yang tidak lebih dari 10 orang...

Zaid bin Arqam, yang waktu itu belum baligh (masih anak-anak), kebetulan lewat dan mendengarnya... karena masih anak-anak, dia dibiarkan saja oleh Abdullah bin Ubay dan konco-konconya...

Kemudian Zaid bin Arqam datang kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan kata-kata buruk Abdullah bin Ubay tersebut... Rasulullah saw. memberikan tiga pertanyaan:
1. "Mungkin kamu marah padanya?"... Zaid menjawab, "Tidak."
2. "Mungkin kamu tidak jelas mendengarnya?"... Zaid menjawab, "Tidak."
3. "Mungkin ada kata-katanya yang kamu lupa?"... Zaid kembali menjawab, "Tidak."

Disini ada pelajaran penting... tiga pertanyaan di atas mewakili tiga kemungkinan penyebab kesalahpahaman di tubuh umat.... tiga kemungkinan itu adalah:

1. tidak objektifnya orang yang mendengar berita, mungkin karena marah, sedih, atau perasaan-perasaan subjektif lainnya, sehingga ia menanggapi suatu berita tidak sebagaimana mestinya... itu sebabnya Rasulullah bertanya apakah Zaid sedang marah kepada Abdullah bin Ubay...

2. pendengar tidak mendengar seluruh kata-kata sang pembicara (mungkin karena hanya sepintas lalu atau ada suara ribut di sekitarnya), sehingga makna yang ia tangkap pun sangat berbeda... itu sebabnya Rasulullah bertanya apakah Zaid mendengar kata-kata Abdullah bin Ubay dengan sangat jelas atau hanya samar-samar....

3. pendengar tidak mendengar seluruh kata-katanya si pembicara, hingga maknanya bisa sangat berubah... kalimat "aku benci pada perbuatan dia" sangat berbeda dengan kalimat "aku benci pada dia"... karena itu Rasulullah bertanya apakah ada kata-kata Abdullah bin Ubay yang lupa ia sampaikan kepada Rasulullah...

Zaid menjawab ketiga pertanyaan dengan mantap.... Rasulullah saw. mengenal anak itu sebagai anak yang jujur... tapi apa yang beliau lakukan selanjutnya? apakah beliau mengutus orang untuk memenggal leher Abdullah bin Ubay?

Tidak. Beliau menunggu Abdullah bin Ubay untuk datang padanya dan menyampaikan penjelasannya sendiri... dan Abdullah bin Ubay benar-benar datang karena takut akan diusir dari Madinah... ia menyampaikan sumpah palsu bahwa ia tidak pernah mengatakan kata-kata buruk tersebut... tapi kemudian turun ayat Al-Qur'an yang menyampaikan kebenaran berita Zaid bin Arqam tersebut... barulah Rasulullah saw. benar-benar percaya... sejak itu, beliau memalingkan wajahnya dari Abdullah bin Ubay...

Begitulah tabayyun... apakah Anda objektif? apakah Anda mendengar dengan jelas? apakah Anda mendengar secara lengkap? kalau ketiga pertanyaan ini sudah dijawab, maka mintalah penjelasan... baru ambil keputusan...

Kita berlindung dari Allah dari sifat sombong, ujub diri, dengki, dan fitnah. Kita ini makhluk yang sangat terbatas. Terbatas ilmunya. Terbatas pengetahuannya. Bila kita sadar bahwa kita terbatas, maka kita akan menjadi manusia yang sangat hati-hati. Hati-hati dalam menyikapi sesuatu. Hati-hati dalam menilai sesuatu. Hati-hati dalam membuat kesimpulan terhadap suatu kejadian. Hati-hati meski sekedar dalam hati.

Wara' Di Era Modern

Oleh: M. Luqman Hakiem

Sehari-hari kita kita digerakkan oleh hasrat meraih sesuatu yang muncul dari keinginan dan cita-cita. Keinginan yang seringkali melebihi batas-batas kewajaran, kesederhanaan yang proporsional. Pada saat yang sama kita sebenarnya telah melampaui batas "manusiawi kehambaan" kita kepada Allah. Berarti kita tidak memiliki sikap wira'i atau wara'.

Kita sedang bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan fasilitas yang lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah melebihi proporsi yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari kewara'an itu sendiri. Wara' dalam bekerja, adalah sikap wajar menjalankan tugas kehidupan secara syar'i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dunia dan keramaian di sisi kita. Seorang yang memiliki wara', ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik dalam ucapan, tindakan, hasrat, dan keinginan.

Rasulullah saw., menggambarkan kewara'an itu melalui haditsnya yang terkenal, "Salah satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu meninggalkan hal-hal yang tidak perlu."

Beliau juga melanjutkan, "Jadilah dirimu orang yang wara', maka anda akan benar-benar menjadi ahli ibadah." (HR. Ibnu Majah)

Banyak orang merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia raup peluang itu tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan kecemburuan hati nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati kita, ruh kita, sirr kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling kepada iming-iming dunia, walaupun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua yang halal yang ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai sebagai sesuatu yang berkah.

Sebab ketika seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang membuat dirinya justru lupa kepada-Nya, pada saat yang sama keberkahan dibalik anugerah itu seperti tercerabut dari akar rizki itu. Kenapa? Karena tiba-tiba ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, egoistis, dan sombong. Lalu ia lupa diri.

Wara', sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap hal-hal yang halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam proses tahapan ruhani, Wara' disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud, atau tindakan mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Allah Ta'ala.

Apakah manusia modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar'i maupun hakiki? Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan Ats-Tsaury menegaskan, "Saya tidak melihat yang lebih mudah ketimbang wara'. Jadi apa yang mengganjal dalam dirimu, tinggalkan saja!"

Banyak simpang siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat mengenai sikap hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan dengan syariat bisa dilihat lebih luwes, tidak radikal dan tidak keras, tanpa mengurangi sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal kejiwaan dan keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad nomaden, abad batu, abad debu, kapasitas psikologi manusia tetap sama.

Justru banyak orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika wara' diabaikan. Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia, memiliki nilai positif, dari mana pun datangnya. Tetapi sikap psikologi kita menghadapi norma kebebasan yang liar telah menumbuhkan ambisi nafsu baru untuk menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan, fasilitas, materi, dan eksotisme. Dan itulah penderitaan dan penyakit paling mengerikan.

Mestinya manusia modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan terhadap hal-hal yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan Allah. Ketegasan terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita. "Tinggalkan hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti." Demikian sabda Nabi saw.

Karena itu wara' sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena dengan wara' manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa, antara lain:

1. Wara' menumbuhkan kesatriaan, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap sosial yang positif.

2. Wara' menjauhkan sikap berlebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi.

3. Wara' mendorong manusia untuk menjadi hamba yang merdeka dari kepentingan-kepentingan selain Allah, karena hakikat wara' adalah sikap waspada terhadap segala hal selain Allah.

4. Wara' menghantar kita untuk tulus dan ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah. Karena tanpa wara', ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal yang menyimpang, dan jauh dari keikhlasan.

5. Wara' menghilangkan sikap kepura-puraan kita, basa basi kita, penipuan-penipuan kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan diri kita dari penjara nafsu kita.

6. Wara' adalah awal dari ketaqwaan kita.

7. Wara' akan menghantar kita terus menerus memandang Allah dalam setiap hal-hal yang halal. Karena itulah wara' akan mendorong kita untuk terus bersyukur, sebab di balik yang kita pandang, ada nama Allah di sana.

8. Wara' adalah nuansa majelis Ilahi. Karenanya Abu Hurairah mengatakan, "Orang-orang yang berada di majelis Allah kelak, adalah ahli wara' dan zuhud."

9. Wara' membuat manusia tidak dzalim, karena ia senantiasa berbuat adil, proporsional, dan wajar.

10. Wara' menjauhkan kita dari KKN.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan presiden yang wara', karena itu ia tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang berbicara dengannya di luar urusan Negara.

Fenomena wara' di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun yang gersang. Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan kemodernannya, hanya karena manjauhi kewara'an sehari-hari. Lalu individu-individunya mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan sosialnya hancur, hukum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan dijadikan berhala. Itulah kewara'an yang terlempar di kesunyian manusia modern.

Coba kita tengok di jendela luar sana. Tragedi manusia modern itu:

1. Mereka mulai terasing dengan Allah, dan merasa tersentak ketika nama Allah disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika nama Allah diungkapkan.

2. Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat duniawi, lalu mengabaikan Allah, kemudian melupakan Allah sama sekali.

3. Mereka memburu fatamorgana, walau pun berkali-kali mereka menderita karena angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi tindakannya itu.

4. Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan atas nama kebebasan dan kepuasan, sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan.

5. Mereka terjebak oleh sebuah permainan, game, dan perjudian pasar bebas, sampai tingkat politik paling mengerikan: membunuh sesama, menghisap darah sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta.

6. Allah dijadikan sebagai lambang bendera, kadang dikibarkan seperti upacara bendera, lalu diturunkan, untuk sekadar basa-basi religius.

7. Manusia modern telah kehilangan harga dirinya paling mahal: fitrahnya sebagai manusia, hamba Allah.

Kewara'an telah sirna dari mereka, karena sikap wira'i dianggap sebagai ancaman dari kebebasan.

Teman Terbaik

Oleh: Bayu Gawtama

Kawan, ingin aku bercerita tentang teman terbaik yang pernah kumiliki. Ayah mengenalkan aku dengannya di tiga tahun usiaku. Meski belum banyak mengerti, aku masih ingat kata-katanya, “Kapan pun dan di mana pun, jadikanlah ia peganganmu, insya Allah kamu akan selamat”. Setelah saat itu, aku mulai rajin untuk mengenalnya. Kemana pergi selalu kuajak serta. Ia bukan saja teman terbaik bagi diriku, tapi juga teman terbaik bagi semua orang, begitu cerita Ibu.

Ia tidak pernah meminta diajak serta, karena semestinya kita yang membutuhkan keberadaannya kemana pun kaki melangkah. Senantiasa memberi jawaban atas semua tanya, mengoleskan kesejukan untuk setiap hati yang gersang. Bagi yang gelisah dan gundah, ia akan menjadi obat mujarab yang mampu memberikan ketenangan. Ia juga menjadi pelipur lara bagi yang bersedih. Tanpa diminta, jika kita mau, ia selalu menunjukkan jalan yang benar dengan cara yang sangat arif. Ikuti jalannya jika mau selamat atau tak perlu hiraukan peringatannya asal mau dan sanggup menanggung semua resikonya. Ia tak pernah memaksa kita untuk mematuhinya, karena itu bukan sifatnya.

Tutur katanya, indah menyejukkan, menyiratkan kebesaran Maha Pujangga dibalik untaian goretan barisan hikmah padanya. Tak ada yang sehebat ia dalam bertutur, tak ada pula yang seindah ia dalam bersapa. Hingga akhirnya, setiap yang mengenalnya, senantiasa ingin membawanya serta kemana pun. Tak peduli siang, malam, terik ataupun mendung, ia kan setia menemani. Cukup hanya dengan menyelami kedalamannya, tak terasa setitik air bening mengalir dari sudut mataku. Hingga satu masa, aku begitu mencintainya. Sungguh tiada tanding Maha Pujangga pencipta teman terbaikku ini.

Sebegitu dekatnya kami berdua, sehingga melewati satu hari pun tanpanya, hati akan kering, gersang dan merindu haru. Ada kegetiran yang terasa menyayat saat tak bersamanya, bahkan pernah aku tersesat, sejenak kemudian aku teringat pesan-pesannya, hingga aku terselamatkan dari kesesatan yang menakutkan. Di waktu lain, aku berada di persimpangan jalan yang membuatku tak tahu menentukan arah melangkah, berkatnya lah aku menemukan jalan terbaik. Entah bagaimana jika ia tak bersamaku saat itu.

Kawan, maukah mendengarkan betapa kelamnya satu masaku tanpa teman terbaikku itu?

Mulanya hanya lupa tak membawanya serta ke satu tempat. Esoknya sewaktu ke tempat yang berbeda, aku tak mengajaknya serta, karena kupikir, untuk ke tempat yang satu ini, saya merasa tak pantas membawanya serta. Saat itu saya lupa pesan ayah, “Jika tak bersamanya, keselamatanmu terancam.” Esok hari dan seterusnya, entah lupa entah sudah terbiasa teman terbaik itu tak pernah lagi kuajak serta. Kubiarkan ia berhari-hari bersandar di salah satu sudut kamarku. Satu minggu, bulan berlalu dan tahun pun berganti, aku semakin lupa kepadanya, padahal ia senantiasa setia menungguku dan masih di sudut kamar hingga berdebu.

Hingga satu masa, bukan sekedar lupa. Bahkan aku mulai malu untuk mengajaknya. Disaat yang sama, semakin tak sadar jika diri ini telah jauh terseret dari jalur yang semestinya. Tapi aku tidak perduli, pun ketika seorang teman menyampaikan teguran dari teman terbaikku agar aku memperbaiki langkahku. Kubilang, ia cerewet! Terlalu mencampuri urusanku.

Begitulah kawan, Anda pasti sudah tahu akibatnya. Langkahku terseok-seok, pendirianku goyah hingga akhirnya tubuhku limbung. Mata hati ini mungkin telah mati hingga tak mampu lagi membedakan hitam dan putih. Semakin dalam aku terperosok, tanganku menggapai-gapai, nafasku sesak oleh lumpur dosa. Di saat hampir sekarat itu, mataku masih menangkap sesosok kecil sarat debu, di saat kurebahkan tubuh di kamar.

Ya! Sepertinya aku pernah mengenalnya. Teman yang pernah dikenalkan ayah kepadaku dulu. Ia yang pernah untuk sekian lama setia menemaniku kemana aku pergi. Teman terbaik yang pernah kumiliki, ia masih setia menungguku di sudut kamar, dan semakin berdebu. Kuhampiri, perlahan kusentuh kembali. “Jangan ragu, kembalilah padaku. Aku masih teman terbaikmu. Ajaklah aku kemana pun pergi,” kuat seolah ia berbisik kepadaku dan menarik tanganku untuk segera menyergapnya. Ffwuhhh…!!! kuhempaskan debu yang menyelimutinya dengan sekali hembusan. Nampaklah senyum indah teman terbaikku itu.

Ingin kumenangis setelah sekian lama meninggalkannya. Ternyata, ia teramat setia jika kita menghendakinya. Kini, bersamanya kembali kurajut jalinan persahabatan. Aku tak ingin lagi terperosok, tersesat, terseok-seok hingga jatuh ke jurang yang pernah dulu aku terjatuh. Jurang kesesatan. Bersamanya, hidupku lebih damai terasa. Satu pesanku untukmu kawan, kuyakin masing-masing kita memiliki teman terbaik itu. Jangan pernah meninggalkannya, walau sesaat. Percayalah.

Wallahu ‘alam bi showab.

Wuaaah.....!!!

Oleh: Abu Aufa

Rembulan masih bercanda dengan burung malam, enggan pulang ke peraduan. Suasana kampus pun semakin sepi, hanya tembok-tembok bisu menemani. Capek, tapi syukur banget, gak nyangka kerjaan kelar juga! Haus dan lapar, membuat ingin segera pulang. Membayangkan makanan lezat buatan istri tercinta, kaki pun semakin cepat melangkah.

"Assalaamu alaikum...," seraya membuka pintu. Tak ada balasan, gelap, lampu-lampu telah dimatikan. Aaah... istri sudah lelap, sambil tangan memeluk kedua buah hati tercinta dengan bias penat di wajah. Mau mandi takut reumatik, karena sekarang udah masuk musim dingin, brrr... Ya udah dilap basah aja deh, kemudian baju yang rapi jali kalo ke lab, diganti dengan baju kebesaran, sarung butut dan kaos buluk.

"Ummi...!!!" teriakan membuatnya kaget dan terbangun, lalu tergopoh-gopoh menghampiri. "Gimana sih, kok masak cuma segini! Lagian kok asin banget, masaknya sambil tidur ya!" "Yang benar dong kalo masak, kan saya capek, mesti belajar, ngumpulin jurnal, buat masakan yang benar gak bisa ya?" Yaa... langsung deh, mendung berarak di telaga mata.

Rasa kesal dan jengkel semakin membludak. Tak lupa sindiran, "Katanya dulu sering ikutan kursus masak, kursus ini kursus itu, mestinya tau dong cara melayani suami!"

Wah benar, tak lama hujan air mata pun tumpah. "Cengeng banget sih, katanya mau jadi istri shalehah, istri shalehah kan mesti patuh sama suami! Ya udah... sana buatin Indomie!" sembari duduk di depan TV.

Buyar rasanya nasehat yang pernah didengar tentang akhlak junjungan kepada istri-istrinya. Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya, demikian pesan Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wasallam. Tapi beliau kan Rasul, berkata dalam hati, beda dong!

*****

Fuih... kerjaan emang gak pernah abis-abis, selesai yang satu, yang lain menyusul. "Kalo gak gini kamu gak bakal selesai, di Jepang sistem belajarnya memang seperti ini," kata sensei. Dalam hati cuma ngedumel, "Wah, ngerjain banget nih!" Lalu sibuk lagi, gak pernah berhenti, selalu dikejar deadline jurnal yang menatap angkuh di depan meja belajar.

Suntuk baca jurnal, baca koran online dulu aah... nyantai bentar. Eh, ada email masuk, balas dong, teman lama rupanya. Wah dibalas lagi, "Chatting aja yuk," langsung dibalas, "Ayo, siapa takut!" Lalu cekikikan depan komputer, mengenang masa-masa kuliah dulu. Lho, kerjaan dari sensei gimana? Ntar SKS lagi, orang Jepang aja sering lembur sampai pagi, membenarkan dalam hati.

Kring... dering telepon, kaget, karena tadi khusyu' depan komputer. "Udah malam bang, kok belum pulang?" tanya istri. "Iya nih, tuh sensei nyuruh itu ini, datanya salah-lah, eksperimennya gak benar-lah, padahal udah capek-capek ngerjain dari tadi, gak tau maunya apa sih?" disambung bla... bla... bla..., seribu satu alasan penyucian diri.

"Pulang aja dulu, ntar bisa sambung besok lagi," bujuk istri, perhatian banget sama suami. "Malam ini masakannya ditanggung enak lho, spesial buat abang tersayang," sambung istri kembali. "Iya deh, ntar abang kerjain di rumah saja," luluh dengan kasih sayang istri, seraya jari mengirim pesan di layar komputer, "Besok ya chatting lagi."

"Gini nih, istri abang tersayang, masakannya enak banget," memuji masakan istri yang udah ludas, tak ada sisa. "Eh, kok dipuji, malah mesem-mesem sih?" tanya sang suami heran. "Iya, saya juga belum makan. Tadi niatnya mau barengan, tapi lihat abang kaya'nya lapar banget, ya udah makan aja duluan, lagian dipikir kan pasti ada sisanya." Gedubrag!!! "Kamu sih, gak bilang-bilang!!! Mestinya kasih tau, jadinya gak diabisin, jadi istri jangan cuma diam doang!!!" Duuh... yaa Allah, salah lagi.

*****

"Abi...," teriak si sulung, keluar menyambut dan minta digendong. Anak, kadang jadi pelepas lelah. Capek karena sepekan keluar kota, rasanya langsung hilang, terhapus karena kerinduan kepada darah daging tercinta. Duuh... bau apaan nih, "Belum mandi ya?" sambil mencium lagi sang buah hati. "Belum. Malah dari pagi, pe-de aja lagi."

Wah, nih ummi-nya gimana sih, punya anak kok gak diperhatiin! Jengkel muncul kembali.

"Abi, orang Jepang kok gak bau ya, padahal mereka kan jarang mandi?" iseng, tanya buah hati. "Iya kali'," acuh tak acuh menjawab. Namanya juga anak kecil, pingin tau segala hal, "Kok abi gak tau sih? Kan katanya sekolah tinggi." Yee... nih anak, emang abi-nya ngurusin orang Jepang yang jarang mandi. "Iya, kan mereka sibuk sekali, jadinya mungkin jarang mandi, lagian siapa bilang gak bau," jawab seenaknya. "Persis abi dong, kan abi mandinya juga cuma pagi," lugu, buah hati berujar. "Bandel ya!" seraya tangan menjewer. "Ummi...!!!" teriaknya berlari sambil nangis.

"Assalaamu alaikum...," astaghfirullah... nih rumah apa kapal pecah? Pakaian yang udah kering tapi belum disetrika menggunung disana-sini, mainan berserakan, belum lagi cucian kotor, wow... berember-ember. Istighfar... istighfar... sambil mengurut dada.

"Waalaikumussalam... afwan ya, belum sempat diberesi," seraya menggendong si kecil yang baru setahun lalu lahir, dan tangan satunya lagi membujuk si sulung yang masih menangis. Lalu kembali dengan kesibukannya, masak buat kekasih hati yang baru pulang presentasi

"Istri shalehah itu mestinya bisa mengatur rumah tangga. Pintar membagi waktu, kapan harus masak, kapan nyetrika, nyuci, beresin rumah, biar gak berantakan seperti tadi. Nyambut kedatangan suami juga kan mestinya bisa lebih rapi, masa' sih nyambut suami penampilannya kucel banget, dandan dong, jadinya suami merasa dihargai, betah dirumah, kalo gak... siapa tahu tuh suami ntar kawin lagi, bla... bla... bla...," ceramah sang suami kepada istri, saat buah hati telah dibuai mimpi.

Gak lama, meledaklah tangis sang istri, kali ini terdengar lebih pilu. "Ah... wanita, gampang sekali menangis," berkata dalam hati. Ngurus dua anak aja kok sulit sih, gimana ntar mau bikin Rasul bangga nih kelak di akhirat nanti?

*****

Baru saja dengan anak-anak tiba kembali di rumah, setelah menghantar ummi-nya ke rumah sakit, kelelahan, harus bedrest kata dokter.

Masih teringat pesan sang istri, "Jagain anak-anak ya, afwan... disuruh dokter istirahat tiga hari di rumah sakit, badan lemes banget rasanya, nanti kalau mau makan, simpanan abon dan rendang masih ada di lemari, lalu kalo...," belum sempat istri menyelesaikan perkataannya, udah disela, "Udah... gak apa-apa kok, insya Allah suasana akan aman dan terkendali." Wuih... pe-de abis selaku suami, semua masalah gampang diatasi, maklum laki-laki, berat di gengsi.

Wuaaah.....!!!
Perasaan, baru saja anak tertua asyik main dengan mainannya, kok bisa langsung nangis? "Abi.....!!! Mau pipis," teriaknya. Kaget, ide baru untuk membuat jurnal jadi buyar, "Pipis sendiri gak bisa ya?" balas teriak, biar gak kalah wibawa dengan anak. "Temenin dong, wuaaah.....!!!" jeritnya lagi. Waduh, anak-anak kok gak ngerti ya, sambil tergopoh-gopoh mendatangi. "Abi kan lagi sibuk, lain kali pipis sendiri!" gak lupa mulut juga mengomel.

Belum juga sampai di toilet, "Abi..., udah pipis nih," sambil menunjuk celana dan lantai yang udah basah. Wuaaah.....!!! Kali ini gantian berteriak, sambil gak lupa tangan ikut menjewer. Nih, rasain!!!

Kaget dengan teriakan, yang bungsu mendadak bangun, "Cup... cup... sayang, kaget ya?" sambil digendong. Ke dapur, buatin susu botol, duuh... air panasnya abis, harus masak air dulu nih. Sementara tangis kedua buah hati semakin nyaring, wuaaah.....!!!

Alhamdulillah, lega... Kedua buah hati tersayang udah kalem, yang bungsu kembali tidur sambil tangannya memegang botol susu. Hm... abangnya pun tampak pulas disampingnya. Istirahat dulu aaah..., menghela nafas sambil meregangkan otot, jemari tangan diremas sampai bunyi plitak-plituk, kepala diputar kiri-kanan, tak lupa badan juga diplintir, alhamdulillah, suasana aman dan terkendali.

Kerja lagi, sambil mendengarkan nasyid yang diputar dari Winamp. Lagu Teman Sejati-nya Brothers yang kembali dipopulerkan Snada mengalun, ...Selama ini kumencari-cari teman yang sejati / Buat menemani perjuangan suci / Bersyukur kini pada-Mu Ilahi / Teman yang dicari selama ini / Telah kutemui...

Aaah... Tiba-tiba terkenang saat dulu sebelum menikah. Sulitnya mencari teman sejati, belum lagi disindir sana-sini. "Sini deh dicariin, mau gak?" Iih, emangnya yang mau nikah situ! Sebel!!! Pake nyariin lagi, emang gue kagak laku!!! Biar gini-gini kuliahnya di Jepang boo...!!! Masa depan terjamin, nilai jual tinggi. Wuih... keren.

Emang, kadang seruntun pertanyaan silih berganti menelusup di hati, siap gak ya? Kan masih kuliah, ntar anak orang mau dikasih makan apa? Tapi, pernikahan begitu indah terdengar, ehm... Namun, benar juga sebuah kata-kata bijak, 'Jika berani menyelam ke dasar laut mengapa terus bermain di kubangan, kalau siap berperang mengapa cuma bermimpi menjadi pahlawan?'

Bismillah..., niat untuk ibadah, maju tak gentar buat melamar. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar, kalau pun ada pernik-pernik pertengkaran, emangnya ada yang anteng-anteng saja? Rezeki selalu saja ada, emang selalu benar janjinya Allah. Duuh... kala sepi begini, kok jadi kangen banget ya sama istri, adakah engkau pun memikirkan diriku, duhai kekasih hati? Gleg! Mendadak jadi sentimentil.

Wuaaah.....!!!
Kaget lagi, lamunan amblas. Ya Allah..., lama-lama jantungan juga nih.

"Abi.....!!!" teriak anak tertua. Duh... anak laki-laki kok jadi cengeng gini? Mungkin karena beda umur ama adiknya jauh sih. Gak lama bunyi gedebag-gedebug, wah... berantem. Rupanya kaki si kecil gak sengaja nendang abangnya waktu tidur, gak terima, abangnya balas juga. Pusying... pusying...!!! Ya udah, biar adil dua-duanya dicubit, "Nih rasain!!!" sambil nyubitnya pakai seni, diplintir. Wuaaah.....!!! Bukannya diam, tambah kencang menangis, malah saling sahut-sahutan. Yaa Allah... kok jadi begini? Gak tahan juga, akhirnya juga ikutan teriak dan lebih kencang, wuaaah......................!!!!!

"Abi... Abi..., bangun dong, ditungguin nih shalat subuhnya! Kok ngigau teriak-teriak sih," buah hati membangunkan, seraya tangan kecilnya menggoyang-goyang tubuh abi-nya. Yaa Allah... alhamdulillah, cuma mimpi.

Bergegas ambil wudhu, segar rasanya bangun di subuh hari, jiwa pun jernih laksana seorang sufi. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah... senang rasanya saat mendengar si sulung melantunkan iqamat.

Kebahagiaan pun selalu berbungah-bungah, saat setiap selesai shalat buah hati selalu mencium tangan, dan tentu saja ciuman tangan dari seorang istri, tanda kepatuhan kepada suami. Tiada yang diharapkan, keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ganjaran surga karena baktinya kepada suami tercinta.

Sebagai suami yang baik, ciuman mesra di kening istri tak lupa sebagai balasan, muah... seraya berbisik perlahan, "Maafkan abang ya, selama ini udah bersikap gak adil, terlalu banyak meminta, ingin semuanya sempurna, tetapi diri sendiri ternyata..." hanya air mata yang menetes haru.

Tampak semburat merah di wajahnya dan mata yang berkaca-kaca, bahagia. Memang, dibalik kelembutan mereka, istri-istri kita adalah manusia perkasa. Kesabaran mereka begitu indah, dan kepatuhannya tiada sirna ditelan usia.

Sebagai suami kadang kita tidak pernah mau mengerti, apa yang kita lihat harus selalu bersih, apa yang dicium haruslah wangi, segala rasa hanyalah kelezatan, yang didengar pun haruslah kemerduan. Padahal hitam dan putih, khilaf dan salah pastilah ada, karena mereka pun hanyalah manusia.

Aaah... aku semakin cinta.
"Abang...," terdengar suaranya manja, namun selalu saja dirindukan. Sambil senyum-senyum, "Ada kejutan nih, sepertinya hamil lagi, dari tiga hari yang lalu muntah-muntah melulu, ntar siang beliin mangga muda ya."
Wuaaah.....!!!

Wallahua'lam bi showab.

Yang Datang Dan Yang Pergi

Oleh: Anonim

Jam dinding menunjukkan tepat jam dua belas malam. Entah kenapa tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya. Kubelai perlahan anak rambutnya yang tergerai di dahinya. Kamu cantik Ratri...., bisikku perlahan. Tanpa terasa, usai pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ke tiga tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya Allah...karuniakan kepada kami anak, seorang pun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di atas sajadah. Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini. Aku yakin, Allah menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya,...itu pasti!!
"Ratri..., bangun... shalat yuuk..."
Kutepuk pipi istriku perlahan. Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus rumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak. Ah...aku sayang padamu Ratri... Akhirnya, aku beranjak sendirian. Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam shalat malamku yang panjang. Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan. Rabbahuma lain aataitana shaalihan lanakunanna minasy syaakiriin. Ya Allah, jika Engkau memberi kami anak yang shalih, tentu kami termasuk orang-orang yang bersyukur. Jam dinding berdentang tiga kali. Ketika aku menghabiskan tiga rakaat terakhir witirku, kulihat Ratri sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk. Kutatap wajahnya dengan geli.
"Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...?" godaku.
Ratri semakin merajuk. "Si Mas mesti begitu...., nggak bangunin Ratri....," protesnya.
Aku tersenyum arif. "Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega bangunin..., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam, sudah disuruh bangun lagi..."
"Iya deeh..., tapi nanti temani Ratri muraja'ah Qur'an yaa....," pintanya manja.
"Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan logat jawa kaku. Maklum besar di betawi.
Ratri tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak jemarinya yang mungil beraksi menggelitik pinggangku.
"Ssssst...., sudah ah, shalat sana, nanti keburu shubuh....," elakku.
Ratri masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.

Sering kulihat Ratri termenung menatap ikan-ikan kecil di aquarium kami. Matanya nanar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak itu. Ia betah diam tanpa ekspresi seperti itu.
"Ssst...., muslimah kok hobi bengong, siih..?" bisikku persis di telinganya.
Ratri tersentak kaget. Pipinya bersemu merah, malu ketahuan melamun.
"Enngg.... nggak kok, ini lho Mas..., ikannya bertelur....," katanya perlahan.
"Ck.... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu tak berkedip, lama banget. Itu bengong namanya, Non....," ku acak kepalanya gemas.
"Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas...., kita kapan?" tanyanya lirih, hampir tak terdengar.
Seketika mataku memanas. Leherku tiba-tiba tercekat. Oh, Allah...
"Yaa..., sabar dong Non...., insya Allah ada hikmahnya....," tuturku, mencoba tegar.
Ratri tersenyum manis, lalu menggamit lenganku menuju meja makan. Tak lama kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktivitasnya seharian. Ah Ratri...Ratri...

Ketika pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memeriksakan diri secara intensif pada dokter kandungan. Hasilnya kami berdua normal. Dokter cuma menyuruh kami untuk bersabar, berdo'a, dan berusaha tentunya. Yah.. barangkali kami berdua memang sedang diuji.
"Nikah lagi saja, Maaas....," celetuk Ratri suatu kali.
Aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi membagi cintaku pada Ratri dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam islam, apa aku sanggup?
Kucubit pipi istriku perlahan.
"Nggak takut cemburu?" tanyaku menggodanya.
"Cemburu kan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu sama Khadijah, tapi bukan cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, kan Ratri bisa ikut membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang lebar.
"Kalau dia juga tidak bisa hamil?"
"Ambil istri lagi...."
"Kalau belum punya anak juga ?"
"Ambil lagi..."
"Hussss...sembarangan !!" protesku pura-pura galak.
Kudekap kepala mungilnya erat-erat.

Hari ini ulang tahun perkawinan kami yang keempat. Umurku sudah dua puluh delapan tahun. Uban dikepalaku sudah belasan jumlahnya. Ketika menikah dulu Ratri bilang, Ubanku ada enam lembar!! Dan sampai saat ini kami belum dipercaya Allah untuk menimang seorang anak. Tapi aku masih cinta Ratri. Dan, tidak akan pernah pudar. Wajah Ratri yang oval dengan hidung yang bangir dan mulutnya kelihatan merah berseri-seri. Kulihat ia membawa sebuah nampan besar yang tertutup ke arah meja makan. Lalu ia menarik lenganku manja.
"Sini Mas....," ajaknya.
Aku menurut saja.
"Happy fourth anniversary...," katanya, lembut.
Mataku berkaca-kaca. perlahan kubuka nampan itu. Sebuah kue taart, romantis sekali. Dan sebuah amplop, dengan logo sebuah klinik. Keningku berkerut. Ketika tanganku bergerak hendak mengambil amplop tersebut, seketika Ratri merebutnya.
"Makan dulu dooong....," protesnya. Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum.
Tak urung kuraih pisau lalu, "Bismillahirrahmanirrahiim...," kupotong taart itu.
Ratri tersenyum, ia kelihatan bahagia sekali. Kutengadahkan tanganku meminta amplop itu. Ratri menggeleng.
"Makan dulu....," katanya.
Ku garuk-garuk kepalaku dengan gemas. Ni, anak bikin penasaran juga. Setelah selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali telan. Dan Ratri protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya. Dan Subhanallah..., Maha suci Engkau wahai Rabb seru sekalian alam!!! Ratri hamil!!! Masya Allah...., setelah sekian tahun!!! Seketika aku tersungkur sujud. Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ratri erat-erat. Air mataku masih mengalir, menitik membasahi kepala Ratri. Ia mendongak, jemarinya menghapus air mataku.
"Mas menangis?" tanyanya retoris.
Aku mengangguk. Ya, aku menangis! Tangis syukur ....
"Kok periksa ke dokter nggak bilang-bilang?" protesku.
"Biarin, nanti nggak surprise....," katanya.
Tiba-tiba aku merasa bersalah. Sejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak lagi rajin mengikuti tanggal-tanggal haid dan masa subur Ratri seperti dulu. Kudekap Ratri makin erat. Sejak hari itu, kesehatan Ratri menjadi perhatian utamaku. Aku sering marah-marah kalau Ratri masih juga suka menulis sampai larut malam. Ya, tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet.

****

Sembilan bulan, lebih delapan hari. Rasanya hari itu tiba..., tadi pagi Ratri sudah mulas-mulas. Katanya mulasnya dimulai dari punggung menjalar sampai ke depan. Aku ribut setengah mati. Kuraih gagang telpon. Aku menelpon seorang teman untuk membawa mobil ke rumah. Ratri masih mengeluh mulas-mulas. Tiba-tiba keluar cairan, oh...air ketubannya sudah pecah!!

****

Di rumah sakit aku begitu gelisah. Bapak ibu yang menungguiku cuma mengeleng-gelengkan kepala. Maklum anak pertama, begitu kata Ibu. Ya Allah...entah kenapa aku tiba-tiba merasa ketakutan yang luar biasa. Ya Allah, selamatkanlah istri dan anakku..., bisikku berulang kali.

"Bapak Saiful Bahri ?" seorang dokter keluar dari ruang bersalin.
"Ya..., saya dokter...," sahutku cepat.
Kuhampiri dokter itu.
"Ada sedikit kelainan, harus dioperasi...Suster! , tolong bimbing Pak Saiful untuk mengisi formulir ini...," kata dokter itu.
Aku tersentak kaget! Operasi?!? Astaghfirullah...
"Tapi..., istri saya tidak apa-apa 'kan dokter?" tanyaku khawatir.
Dokter itu terdiam.
"Berdo'alah...," katanya pelan.
Kugigit bibirku erat-erat. Allah..., selamatkan istri dan anakku... Kuambil wudhu dan shalat di mushala. Kuhabiskan gelisahku di sana. Tiba-tiba terdengar tangis bayi. "Anakku...," desisku perlahan.
Aku seperti dituntun nuraniku. Bergegas keluar mushalla.
"Bapak Saiful Bahri?"
"Ya, dokter..."
"Selamat, bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik seperti ibunya...," kata dokter itu.
"Alhamdulillah...," desisku berulang-ulang.
"Istri saya dokter?" Dokter itu terdiam.
Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar di segenap hatiku. Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh tanya. Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan, sementara kepalanya pun menggeleng perlahan pula. Mulutku ternganga seketika...
"Maafkan..., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki lain...," katanya.
Air mataku berloncatan tanpa bisa dibendung...

Dokter itu perlahan membimbingku masuk ke ruang bersalin. Aku menurut saja tanpa rasa. Sesosok tubuh ditutup kain putih terbaring... Perlahan dokter itu membuka kain penutupnya. INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI'UUN... Wajah Ratri terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis..., maniiis sekali. Kudekap kepala Ratri erat-erat..., tangisku tak tertahankan...
"Sabar...sabar...Pak...," hibur dokter itu.
"Suster, bawa kemari , anak Bapak Saiful...," katanya lagi.
Seorang bayi mungil yang masih merah disodorkan ke hadapanku. Perlahan...ku gendong dan kutatap ia... Dadaku masih sesak karena tangis. Kutatap bayi merah itu dan Ratri berganti-ganti. Mereka begitu mirip. Matanya..., hidungnya..., mulutnya..., Allahu Akbar!!! Rupanya inilah hikmah itu, Ratri..., Allah memberi kesempatan padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya memanggilmu setelah ia memberikan gantinya... Ya, Allah jangan biarkan hatiku berandai-andai...seandainya saja kami tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ratri... Tidak, ini semua takdir Mu ya Robbi...

SELAMAT JALAN RATRI...

Sesuci Humaira

Oleh: Anonim

Hembusan bayu yang dingin bersama lautan yang membisu petang itu menyebabkan seorang usahawan muda, Firdaus namanya, mengenang kembali kisah silamnya yang penuh suka duka.
Humaira......begitulah nama seorang gadis yang amat dikasihinya 10 tahun lalu yang kini hanya tinggal kenangan.
Waktu pemeriksaan ujian masuk universitas yang akan mereka masuki itu hanya tinggal dua hari saja. Mereka telah berjanji untuk bersama-sama meneruskan pelajaran di sana dan bersama-sama memperoleh hasil yang cemerlang ke menara gading, impian mereka selama ini. Walaupun begitu, betullah kata pepatah, "Kusangkap panas sampai petang, rupanya hujan di tengah hari," bisik hati kecil Firdaus ketika mendapati dirinya gagal mendapat tempat di menara gading itu sedangkan Humaira berhasil dengan gemilang.

"Humaira...," kata Firdaus perlahan petang itu. "Sesungguhnya ada satu hal yang hendak Fir sampaikan dan semoga Humaira tidak mengecewakan Fir." Humaira yang tadinya masih dalam sedu sedan tangisnya karena kegagalan Firdaus, tiba-tiba terhenti lalu memandang wajah Firdaus dengan penuh keheranan.
"Sebenarnya, telah lama kusimpan perasaan ini, namun demi pelajaran kita dulu, kusimpan ia hingga hari ini. Humaira...sebelum kau ke menara gading, ingin kunyatakan bahwa aku terlalu menyayangi dirimu teman hidupku," kata Firdaus penuh harapan.
"Fir...apakah kata-kata itu datang dari hati Fir yang ikhlas?" tanya Humaira ingin mendapatkan kepastian.
"Ya, Humaira, semoga Humaira tidak mengecewakan Fir," sambung Firdaus lagi. Humaira tunduk malu tanda setuju. Mereka pun mengikat tali pertunangan setelah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak keluarga dan akan melangsungkan perkawinan tiga tahun lagi, setelah Humaira menamatkan belajarnya di universitas.

Dalam usia setahun pertunangan mereka, hanya surat dan telefon yang menjadi penghubung antara mereka dan bertemu bila Humaira pulang liburan. Masuk tahun kedua pertunangan mereka, Firdaus merasakan sesuatu yang berbeda dengan Humaira. Kalau dulu, isi suratnya mengenai ketidaksabaran menemui Firdaus, tetapi kini...cuma menasihati Firdaus supaya tidak meninggalkan shalat liwa waktu, jadi hamba Allah yang taat dan macam-macam lagi. Beberapa risalah bercorak Islam juga sering disertakan bersama suratnya buat Firdaus.

Di tahun ketiga Humaira di universitas, Firdaus merasakan dirinya dan Humaira semakin jauh, tidak seperti dulu lagi. Dulu, mereka begitu mesra sekali tetapi sekarang...semuanya sepi, beku dan kaku! Setiap kali Firdaus menelepon Humaira, jarang dia dapat berbicara sendiri dengan Humaira. Kalau dapat pun tiada lagi tawa riang macam dulu, malah semuanya serius! "Kenapa ?" bisik hati kecil Firdaus. Firdaus mencoba menelepon Humaira lagi pada suatu ketika dengan harapan semoga Humaira sudi keluar bersamanya karena dia telah begitu rindu kepada Humaira.

"Assalamu'alaikum," bunyi suara yang menyambut telepon. Firdaus merasa pasti bahwa itu suara Humaira yang dirindukannya.
"Humaira?" tanya Firdaus tanpa menjawab salam yang diberi.
"Ya, Humaira di sini, siapa ini?" tanya Humaira.
"Hai...tunangan sendiri pun sudah tak kenal?" kata Firdaus dengan nada merajuk.
"Oh!...Firdaus," jawab Humaira agak kaget.
"Fir ingin mengajak Humaira ke Restoran Jamilah, tempat kita selalu makan dulu, Fir akan jemput Humaira jam 8 malam ini, ok?" kata Firdaus penuh harapan.
"Maaf, Fir, Humaira agak sibuk sekarang," balas Humaira.
"Hai! Tak ingin ketemu tunangan sendiri lagi? Tak ingin seperti orang lain atau seperti kita sewaktu di awal-awal pertunangan dahulu? Ada apa dengan engkau, Humaira? Kau selalu menolak ajakan Fir dengan alasan yang bermacam-macam," keluh Firdaus dengan suara yang agak keras.
"Begini, Fir...sebenarnya antara kita masih belum ada apa-apa ikatan yang sah, cuma bertunangan dan bertunangan juga tidak boleh dijadikan tiket untuk kita berdua-duaan tanpa mahram dan hukumnya adalah haram," kata Humaira menjelaskan alasan kenapa dia enggan memenuhi ajakan Firdaus.
"Wah! Wah! Wah...! Sejak kapan engkau jadi ustadzah nih? Setahu Fir, Humaira sekolah ambil jurusan Ekonomi, bukan Syari'ah atau Ushuluddin," kata Firdaus sekali lagi dengan nada kesal.
"Ini bukan masalah ustadzah atau bukan ustadzah, Fir...tetapi, setiap orang Islam mesti mengetahui halal dan haramnya sebelum melakukan sesuatu agar tidak dimurkai Allah Swt. Maaf, Fir...Humaira tak dapat memenuhi permintaan Fir untuk keluar berdua. Humaira rasa lebih baik Fir berjumpa dengan keluarga Humaira jika ada hal yang hendak dibincangkan," jelas Humaira dengan harapan Firdaus memahaminya.
"Ah! Sudahlah Humaira, aku sudah bosan dengan engkau, itu tak boleh...ini haram...itu haram. Mulai hari ini antara kita telah putus dan tiada apa-apa ikatan lagi," sambung Firdaus marah.
"Fir, bukan itu maksud Humaira," kata Humaira yang agak terkejut dengan keputusan Firdaus.
"Ya, Humaira...aku rasa lebih baik kita putuskan saja tali pertunangan kita ini karena antara kita sudah tiada penyesuaian lagi, pergilah kau dengan da'wahmu dan biarkan aku dengan cara hidupku," kata Firdaus penuh ego.

Suasana sepi seketika, Firdaus tahu Humaira terkejut dengan keputusan dan kekerasan kata-katanya.
"Fir," Humaira memulai lagi kata-katanya. "Andai itu sudah menjadi keputusan Fir, apa boleh buat, cuma do'a Humaira semoga suatu hari nanti Allah membuka hati Fir dan menjadi hamba-Nya yang ta'at dan sama-sama dalam perjuangan Islam yang suci," kata Humaira tenang.
"Selamat tinggal Humaira!" kata Firdaus memutuskan percakapan sambil menghempaskan gagang telepon. Pikiran Firdaus terganggu akibat perpisahan dengan Humaira, satu-satunya gadis yang sangat dikasihinya. Tapi lama-kelamaan, Firdaus dapat melupakan Humaira...sehingga dua tahun kemudian ketika tiba-tiba seorang lelaki yang tidak dikenalinya memberi salam muncul di pintu kantornya.
Dari air mukanya yang bersih dan pakainnya yang kemas, Firdaus yakin dia seorang yang baik dan punya kedudukan tinggi.
"Wa'alaikumussalam, silakan duduk," jawab Firdaus sambil mengulurkan tangannya menyambut salam tamu itu. "Apa yang bisa saya bantu, Saudara?" tanya Firdaus.
"Sebenarnya, begini...saya Dr. Abdur Rahman, baru pulang dari England tiga minggu yang lalu dan bertugas di rumah sakit di kota ini. Kedatangan saya ini untuk menyampaikan barang yang dikirimkan buat Saudara."
"Barang?" tanya Firdaus penuh keheranan karena setahunya dia tidak pernah membuat pesanan barang apa-apa dari England.
"Barang ini dari saudari Humaira binti Muhammad, pasti Saudara mengenalinya," kata lelaki itu.
"Humaira!" terlontar lagi perkataan itu dari mulut Firdaus setelah dua tahun dia telah melupakan nama itu.
"Humaira telah pergi buat selama-lamanya setelah mendapatkan kecelakaan lalu lintas sewaktu di kota London. Kebetulan isteri saya adalah sahabat karibnya semasa sama-sama menuntut ilmu di sana. Beberapa hari sebelum kejadian itu dan sebelum kami pulang ke Malaysia, Humaira benar-benar meminta kami untuk menyampaikan barang ini buat Saudara. Seolah-olah dia tahu bahwa dia tidak akan bersama kita lagi," papar Dr. Abdur Rahman.
Bagaikan dipanah petir jantung Firdaus menerima berita yang tidak pernah terduga olehnya selama ini. Lantas, Firdaus menutupkan kedua tangannya ke wajah tanda kesedihan yang amat sangat, karena sesungguhnya Humaira masih di hatinya.
"Bersabarlah saudara, kesemuanya adalah kehendak Allah. Allah lebih menyayanginya. Humaira adalah gadis yang baik dan ta'at akan perintah Allah," kata Dr. Abdur Rahman menenangkan keadaan sambil memegang bahu Firdaus. Setelah dilihatnya Firdaus agak tenang, dia pun meminta diri untuk pulang.

Firdaus segera membuka kiriman Humaira buat dirinya. Terdapat surat di dalamnya. Firdaus membuka surat itu dengan tangan yang gemetar menahan kesedihan.
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," bunyi kepala surat Humaira.
"Menemui Saudara Firdaus yang saya hormati semoga di bawah lindungan Allah dan semoga lembaran ini menemui Saudara dalam keadaan kita sama-sama beriman kepada Allah Swt. Maaf, seandainya lembaran yang tidak diundang ini mengganggu situasi saudara Firdaus saat ini. Humaira tahu tidak ada alasan bagi Humaira harus menghubungi saudara Firdaus lagi setelah perpisahan dulu. Tetapi karena Islam dan tidak sanggup melihat sesama Muslim terus lalai dalam arus jahiliyyah ini, maka Humaira tabahkan hati untuk menulisnya. Saudara Firdaus yang saya hormati...ketahuilah bahwa apa yang kita lakukan selama ini adalah merupakan rencana syaitan laknatullah dan musuh Islam untuk meruntuhkan generasi muda Islam agar Islam tidak tertegak di bumi Allah ini. Kita adalah di antara yang telah menjadi mereka lantaran dangkalnya kepahaman diri kita mengenai Islam.
Saudara Firdaus...kembalilah kepada Islam yang suci, kembalilah kepada fitrah asal kejadian manusia yang seharusnya ta'at kepada Allah, tetapi lantaran keegoan dan tunduk kepada hawa nafsu, manusia lupa akan pencipta-Nya sendiri.
Harapan Humaira, carilah kebenaran dalam sisa usia yang masih ada ini dan bertaubatlah atas kesalahan yang lalu. Binalah satu kehidupan baru berlandaskan Islam. Insya Allah, saudara Firdaus akan berbahagia dunia dan akhirat. Insya Allah sahabat Humaira bernama Dr. Abdur Rahman yang tinggal di no. 2 Jalan Makmur di kota ini bisa membantu saudara Firdaus untuk mencari kebenaran itu." Firdaus berhenti sebentar dan terbayang kembali di pelupuk matanya wajah orang yang datang menemuinya baru saja. Lalu dia meneruskan membaca surat Humairah,
"Bersama ini saya sertakan sebuah tafsir Qur'an khusus untuk saudara Firdaus, semoga itu bermanfaat kepada saudara Firdaus. Akhir kata, dan doa dari Humaira semoga Allah membuka hati saudara Firdaus dan menjadi hamba-Nya yang ta'at dalam usaha mencari kebenaran ini. Sekian, dari Humaira, semoga Allah Swt. senantiasa bersama kita."

"Humairah...kenapa engkau tinggalkan aku...sesungguhnya aku masih menyayangi dirimu," itulah kata-kata yang keluar dari mulut Firdaus
ketika selesai membaca surat Humaira. Sejak peristiwa itu, Firdaus mulai berubah. Dia selalu lengket dengan sajadahnya yang sebelumnya jarang sekali digunakan dengan alasan kesibukan dengan tugas-tugasnya di kantor.
"Oh! Tuhan...ampunilah dosa hamba-Mu ini, sesungguhnya, aku telah lalai dari mengingati-Mu selama ini. Pandulah hamba-Mu ini mencari kebenaran di muka bumi-Mu ini dan tempatkanlah arwah Humaira bersama orang-orang yang beriman, Ya Allah...Amin Ya Robbal'Alamin, kata Firdaus di suatu shubuh yang dingin hingga manik-manik jernih jatuh menuruni pipinya tanpa dia sadari.
Firdaus bergegas bangun dari shalat shubuh itu dan terus mempersiapkan tas kantornya ketika dia teringat alamat yang diberi Humaira. Selesai sarapan, Firdaus terus melaju dengan mobil Honda Accord merahnya mencari rumah Dr. Abdur Rahman dengan penuh harapan.

"Assalamu'alaikum!" kata Firdaus.
"Walaikumussalam," jawab Dr. Abdur Rahman.
Hati Firdaus melonjak gembira terkaannya tepat dan bersyukur Dr. Abdur Rahman ada di rumah waktu itu. Sengaja Firdaus pergi ke rumahnya pada hari Ahad karena jika hari lain, pasti beliau tiada di rumah karena "on-call" dari rumah sakit.
Setelah lama bercakap-cakap, Firdaus pun menyatakan maksud kedatangannya, yaitu agar Dr. Abdur Rahman sudi membimbing dirinya dalam mengenal Islam dan mencari kebenaran di bumi Allah ini sebagaimana yang diharapkan oleh Humaira selama ini. Namun, bagi Firdaus, dia melakukan semua ini bukanlah semata-mata karena Humaira tetapi atas kesadaran dan keinsyafan yang ada dalam dirinya serta taufiq dan hidayah Allah Swt.
"Syukurlah, saudara telah insyaf, semoga Allah senantiasa bersama kita," kata Dr. Abdur Rahman. Firdaus pun permisi pulang ketika dilihatnya jam sudah menunjukkan 11 pagi, yang berarti dia telah dua jam berada di rumah Dr. Abdur Rahman hari itu. Firdaus memeluk Dr. Abdur Rahman tanda terima kasih dengan linangan air mata, penuh keinsyafan dan harapan.
Sejak saat itu, Firdaus pun mulai mengetahui dan memahami mengapa Humaira begitu menghindarkan diri darinya apabila diajak berjumpa suatu ketika dulu.
"Benar kata-katamu dulu, lelaki dan perempuan yang bukan mahram, haram berdua-duaan dan jubah serta kerudung yang kau pakai dan yang kubenci dulu itu adalah cara pakaian wanita Islam. Oh!...Humaira sungguh suci dan mulia dirimu," kata Firdaus penuh keinsyafan.
"Humaira! Andai kau masih ada, pasti kujadikan dirimu teman hidupku dan isteriku yang bakal mendidik anak-anak kita supaya menjadi anak yang shalih. Juga karena aku yakin engkau pasti dapat membantuku dalam perjuangan suci ini, sebagaimana sayyidina Khadijah dan 'Aisyah ra. membantu perjuangan suami mereka, Rasulullah saw."
Lamunan Firdaus tiba-tiba terhenti ketika titik-titik air hujan yang turun secara mengejutkan petang itu membasahi tubuhnya. Lalu ia pun berdo'a, "Ya Allah, kupanjatkan syukur hamba kepada-Mu karena telah membuka hatiku dan juga karena telah menemukan hamba dengan Humaira, yang telah banyak memberi kesadaran sebelum hamba tersesat lebih jauh dari jalan-Mu. Semoga arwahmu ditempatkan bersama mereka yang beriman wahai Humaira, gadis yang suci.....Amin Ya Robbal'aalamiin.

Suami Pembawa Berkah

Oleh: Indah Prihanande

Alangkah gembira hati ini. Karena baru sekarang punya simpanan "uang dingin" dua juta rupiah. Berasal dari rejeki yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu usaha suami merakit mesin rusak yang kemudian ada yang mau membeli. Alhamdulillah, setelah dikeluarkan untuk pembayaran zakat, biaya spare part dan bagi-bagi rejeki mentraktir temannya di kantin, maka tersisa uang tunai dua juta rupiah.

Keinginan yang terpendam, satu-satu mulai bermunculan. Apakah ini saatnya untuk membeli komputer yang selalu saya idam-idamkan? Atau sebaiknya dipakai sebagai DP motor saja? Ha-ha, bisa tidak, ya, dipakai modal usaha kecil-kecilan? Ah, lumayan pusing memikirkannya. Duh, sudah lama saya mengimpikan untuk membuka usaha lain, selain bekerja kantoran seperti sekarang.

***

Sementara saya menimbang dan berpikir, tiba-tiba suami bertanya kepada saya, bagaimana jika uang tersebut dipinjamkan kepada adik teman kantornya yang akan menikah.

"Siapa?" tanya saya.

"Itu adik temanku dikantor mau menikah. Tapi dia betul-betul tidak ada uang untuk mengadakan resepsi alakadarnya," suami saya menjelaskan dengan serius.

Sejurus saya berpikir. Kemudian spontan muncul suatu argumen untuk menjawab.

"Menikah itu seharusnya apa adanya yang dia punya. Toh, dia sudah dewasa. Seharusnya dia juga berpikir untuk menyiapkan biaya, jika dia memang akan menikah. Tidak bisa menikah hanya sekedar keinginan saja. Harus ada persiapan sebelumnya. Saya tidak setuju kalau uang itu dipinjamkan kepada dia."

Saya berbicara sambil menekan emosi. Sebelumnya sudah mengorbankan uang bulanan rumah tangga, untuk meminjami teman sepekerjaan, yang anaknya dirawat di rumah sakit. Selang beberapa hari, dia meminjami temannya uang, ketika sang teman membutuhkan biaya menjamu orang tua dan handai-taulan yang akan tetirah. Bahkan, belum juga genap seminggu, dia juga mengorbankan uang sakunya sebulan untuk biaya pembuatan SIM seseorang. Alasannya, SIM itu sangat dibutuhkan orang tersebut untuk mencari pekerjaan.

Setiap pinjaman kepada orang-orang tersebut, saya bisa menerimanya. Walaupun jujur saja, saya kadang merasa jengkel, karena ujung-ujungnya kami harus amat sangat berhemat, bahkan untuk biaya dapur sekalipun. Sebab sesungguhnya keuangan kami pun sangat terbatas.

Beberapa hari setelah pembicaraan tersebut, saya kembali tergoda sebuah ide. Kemungkinan, uang itu akan saya serahkan kepada adik saya, yang selama ini berdagang dengan sistem bagi hasil.

"Dik, uangnya sudah kaupinjamkan ke temanku yang adiknya mau menikah," jawab suami saat akan mengutarakan ide.

Deg! Saya menarik nafas. Mencoba untuk tidak marah.

"Berapa yang dipinjamkan?"

"Semuanya. Dua juta."

"Oo." saya menelan ludah. Percakapan tadi terputus. Saya tak bisa bicara apa-apa lagi. Seharian diam saja, malas berbicara dengan suami. Betapa kecewa keinginan saya untuk membangun usaha dari uang yang ada, ternyata tak dipedulikan oleh suami. Sampai menjelang tidur, suasana masih kaku. Esok harinya kami masing-masing pun sudah sibuk untuk berangkat kerja kembali. Kami berpamitan ala kadarnya, tidak sebagaimana biasa.

Setiba di kantor, perasaan saya semakin tidak karuan. Antara ingin memperturutkan emosi untuk marah atau terus berdiam diri. Ada juga terlintas untuk meneleponnya seperti biasa, menanyakan kabar, juga meminta didoakan.

Ah, saya merasa kehilangan. Padahal biasanya sebelum tidur, kami selalu berdiskusi, membahas berita baru, atau membaca artikel yang menarik mengenai keluarga. Ya. Saya telah kehilangan kehangatan itu tadi malam. Mungkin, suami juga merasakan hal yang sama. keheningan yang tidak menenangkan.

***

Saya mencoba berpikir ulang. Menghadirkan fragmen-fragmen yang selama ini saya lalui bersama suami, saat termangu sendiri di tempat bekerja.

Setiap suami pulang kerja dan tiba di rumah lebih dulu, selalu tersedia segelas susu hangat, yang siap saya nikmati. Dia selalu bertanya, apakah saya mau mandi air hangat, bila iya, dia akan menjerangkannya untuk saya. Sikapnya selalu lembut. Jarang sekali marah, bahkan untuk berkata agak keras sedikitpun tak pernah.

Lalu, amarah apa yang harus saya tumpahkan kepadanya? Rasa kecewa bagaimana yang harus saya ungkapkan padanya? Tidakkah semuanya yang dia hadirkan adalah selalu kebaikan bagi saya dan keluarga? Bukankah selama ini dia berusaha memberikan nafkah terbaik untuk kami? Selama ini, kami tidak hidup berlebih, bahkan tidak leluasa untuk menggunakan keuangan kami. Tapi kami juga tidak sampai tidak pernah makan dalam satu hari, kami juga masih bisa menyekolahkan anak kami. Oh, betapa naifnya saya.

Lama merenungkan perjalanan kami selama berkeluarga, rasa kegembiraan dan rasa syukur menyeruak pelan diantara benak pikiran. Bukankah uang tersebut digunakan untuk suatu hal yang positif ? Bukankah uang itu digunakan untuk membantu adik temannya dalam rangka menggenapkan dien-nya. Bukankah uang tersebut bukan untuk foya-foya? Bahkan, bukan untuk keperluan pribadinya?

Kesadaran muncul kembali dalam lubuk hati ini. Semua hanyalah kepunyaan Allah. Rejeki itu sebetulnya datang dari Allah, dari sumber yang sebetulnya saya sendiri tidak pernah menduganya. Pun ketika nanti uang itu tidak terbayar. Mungkin dengan cara inilah Allah memudahkan orang tersebut untuk memenuhi keinginannya menikah.

Ya, uang itu sudah menjadi rejeki adik teman suami saya yang hendak menikah. Insya Allah, pasti ada rejeki lain buat saya, dalam kondisi yang pasti sudah ditetapkannya. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik bagi saya, bagi pekerjaan saya, bagi usaha yang saya inginkan itu. Mungkin, justru dengan keringanan suami saya membantu teman-temannya itulah, maka kami bisa mengarungi rumah tangga dengan relatif nyaman tanpa kendala berarti. Barangkali inilah berkah dan hikmah dari mempunyai seorang suami yang dermawan.

Jumat, 11 September 2009

Tuhan...

Oleh: Anonim

Tuhan....
aku berterima kasih untuk semua yang terjadi padaku
untuk semua keberhasilan dan kegagalan
untuk semua tawa dan air mata
untuk semua kesenangan dan kesedihan
untuk semua kebenaran dan kesalahan
untuk semua sehat dan sakit
untuk semua kemudahan dan kesulitan
untuk semua penerimaan dan penolakan
untuk semua pujian dan penghinaan
dan untuk mereka yang selalu menguatkan diriku hingga aku dapat
menjalani semua itu
dan untuk semua kekuatan hingga aku dapat
melalui semua itu
sungguh...aku hanya hamba-Mu yang tiada daya
terima kasih Tuhan...

Tamu Terakhir

Oleh: Bayu Gawtama

Pagi ini aku sudah tiba di kantor bahkan sebelum office boy tiba, sesaat setelah Pak Satpam membukan pintu gerbang depan. Sejak semalam sudah kusiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan oleh tamu yang akan datang ke kantor pagi ini. Mereka adalah klien baru yang semoga saja bisa mendatangkan keuntungan lumayan besar jika terdapat kesepakatan diantara kami. Kupilih kemeja yang paling bagus dengan setelan celana dan sepatu yang match, tidak lupa dasi, agar lebih terlihat profesional. Semua proposal dari mereka sudah kupelajari sehingga ada keyakinan aku bisa menguasai seluruh pembicaraan selama pertemuan nanti.

***

Begitulah satu contoh persiapan yang mungkin pernah kita lakukan ketika hendak menerima tamu. Banyak contoh lain yang bisa diketengahkan, misalkan, biasanya kita akan segera merapihkan semua hal berantakan dan membenahi apa pun yang nampak tak sedap dipandang di sekitar ruang tamu saat seseorang hendak bertamu ke rumah. Kesibukan akan lebih terlihat jika tamu yang datang tak terlebih dulu mengabari kedatangannya. Bisa jadi, saat mereka tiba, kita belum mandi, masih banyak sisa makanan dan sampah yang tercecer bekas malam tadi, termasuk lantai yang kotor dan belum sempat dibersihkan. Tentu saja, sebagai tuan rumah, kita akan malu jika kedapatan belum mempersiapkan apa pun untuk menyambut tamu tersebut.

Fenomena lain bisa dilihat dari sisi yang berbeda. Soal makanan misalnya, seorang tuan rumah akan menyediakan makanan, bisa membuat atau membeli, yang terasa spesial buat tamu. Setidaknya, makanan yang biasanya tak pernah tersaji di rumah, jika ada tamu yang akan datang, begitu cepat tersedia. Dan bahkan, tidak jarang tuan rumah harus berhutang untuk sekedar memberikan pelayanan lebih atau biasa disebut dengan menghormati tamu. Adalah hal wajar seseorang menerima dengan penuh sukacita dan kebaikan setiap tamu yang datang bersilaturahim ke rumahnya.

Namun tentu tidak semua tamu bisa dilayani seperti itu. Kita tentu pernah mendengar istilah "tamu tak diundang". Mereka bisa jadi, tukang kredit, penagih hutang, atau cuma seorang teman yang biasa meminjam uang. “Bapak tidak ada di rumah,” atau “Bapak sedang istirahat,” adalah basa-basi yang biasa terlontar lewat pembantu atau anak kita kepada mereka yang mungkin masih berdiri di luar pagar. Jika di kantor, sekretaris atau resepsionis akan berkata sopan, “Bapak sedang keluar kantor,” bila yang datang adalah tamu atau klien yang tidak diharapkan. Intinya, sikap dan pelayanan yang diberikan oleh seorang tuan rumah akan tergantung siapa dan tujuan apa yang dibawa oleh tamunya. Ia bisa saja menerima dengan tulus dan senang hati, menunda dan memintanya menunggu beberapa saat agar kita bisa bersiap dan berbenah, atau menolak kedatangannya, bila perlu dengan bantuan satpam.

Tamu. Siapa pun dia, adalah mereka yang pasti berniat atau mempunyai kepentingan tertentu dengan kita. Yang paling sederhana adalah sekedar bersilaturahim dan menyambung-eratkan hubungan persaudaraan. Semestinya, sebagai tuan rumah yang baik kita menyambutnya dengan hati yang senang, dan tak memperlihatkan ketidaksukaan, menutupi ketidaksiapan dalam penerimaannya. Jika perlu, konflik maupun pertengkaran yang tengah berlangsung antara anggota keluarga, antara suami dengan istri, dihentikan agar tamu tak menjadi penonton peperangan. Semestinya diupayakan agar mereka tak pernah tahu ada perselisihan, konflik, atau ketidakakuran di keluarga kita. Itulah sekelumit hal yang biasa terjadi. Kita berupaya tampil sebaik mungkin menyambut kedatangan tamu. Terlebih jika yang datang adalah tamu yang dihormati, bisa pejabat, atasan di kantor, atau siapa pun yang posisinya lebih diatas kita.

Sejak kecil, bahkan sejak baru terlahir, seorang manusia sudah terbiasa menerima tamu. Bisa jadi, hampir setiap hari tamu tak henti-hentinya mengetuk pintu rumah. Kabar yang dibawa tentu bermacam-macam, sekali lagi, bisa hal baik atau hal buruk, sesuatu yang sudah biasa didengar, atau mungkin berita yang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Jadi, adalah hal biasa kita mendengar ketukan di pintu rumah untuk menerima kedatangan tamu.

Namun, pernahkah kita sadar jika siang nanti, esok pagi atau mungkin sedetik setelah membaca pesan ini, ada ketukan yang terdengar di depan, dan ketika kita tahu bahwa yang datang dan berdiri di hadapan kita adalah "tamu terakhir"? Tamu yang sama yang pernah hadir di hadapan orang-orang yang telah mendahului kita. Tamu yang datang dengan kabar baik atau buruk tergantung seberapa banyak persiapan dan bekal yang terkumpul untuk hidup di hari kemudian. Tamu terakhir yang tak mungkin kita memintanya untuk menunggu meskipun sedetik agar kita bisa bersiap dan membenahi diri. Tamu terakhir yang mungkin tidak pernah diharapkan kehadirannya, tetapi tak seorang pun bisa membantu kita untuk menolak kehadirannya. Tentu saja, kita akan tersenyum menerima kehadirannya, jika saat tamu terakhir itu datang, semua bekal yang diperlukan sudah dipersiapkan. Bagaimana jika belum?

Wallahu‘alam bi showab.

Bodohnya Manusia Ketika Jatuh Cinta

Oleh: Anonim

Kalau kita sedang jatuh cinta kepada manusia, maka setiap saat kita akan selalu teringat wajah kekasih kita.
Tapi dalam sehari sesering apa kita mengingat Tuhan.

Kalau kita sedang jatuh cinta kepada manusia, maka setiap saat kita ingin selalu bersamanya.
Tapi sebanyak apa waktu yang kita luangkan untuk bersama Tuhan. Bahkan ibadah kita lebih cepat daripada waktu yang kita butuhkan untuk makan.

Kalau kekasih kita ingin bertemu, walau hujan lebat topan badai pun kita akan menghampirinya, di mana pun ia berada, pulsa puluhan ribu tak jadi masalah, BBM 4500 rupiah per liter pun tak jadi soal.
Kalau orang tua kita memanggil dan kita acuhkan, maka orang tua pun akan memanggil untuk yang kedua kalinya, apabila kita masih acuh, maka pada panggilan yang ketiga orang tua kita pasti akan marah, mungkin telinga kita akan ditarik, uang jajan kita akan dikurangi. Orang tua kita akan marah karena kita telah kurang ajar.
Tapi berapa kali seumur hidup, pangilan Tuhan telah kita acuhkan. Apakah lantas Tuhan menghukum kita, tidak! Apakah rezeki kita lantas dikurangi, tidak! Apakah Tuhan akan melukai tubuh kita, tidak! Seberapa besar kekurangajaran kita kepada Tuhan?

Apabila orang yang kita sayang jatuh cinta kepada orang lain, maka hati kita akan sakit sekali, banyak orang yang menangis meratap sejadi-jadinya, stres, depresi, sakit jiwa, bahkan bunuh diri karena sakitnya tersebut. Cara apa pun akan kita lakukan agar orang yang kita sayang tersebut dapat lebih cinta kepada kita.
Tapi apabila kita melihat orang lain yang lebih taat beribadah kepada Tuhan. Maka pastilah Tuhan lebih jatuh cinta kepada orang tersebut bila dibandingkan kepada kita. Apakah kita pernah sedikit pun cemburu, sakit hati, dan melakukan segala hal untuk membuat agar Tuhan lebih jatuh cinta kepada kita?

Harta, tenaga, bahkan tubuh kita ini (atas nama cinta) rela kita persembahkan kepada kekasih. Karena begitu cintanya akal ini tidak dipakai lagi. Dikemudian hari apabila kita ditinggalkan maka cuma penyesalan yang tersisa. Itu pun tak berakhir sampai disitu saja, apabila menemukan kekasih yang baru, kita akan mengulangi lagi kesalahan yang lalu, seakan-akan tak pernah terjadi. Sungguh bodoh.
Tapi sudah berapa banyak pengorbanan kita untuk kecintaan kepada Tuhan. Menegakkan punggung ini untuk beribadah saja rasanya sulit sekali, menggerakkan bibir untuk menyebut nama-Nya, melangkahkan kaki menuju rumah-Nya, berjaga di malam hari untuk bermesraan dengan-Nya, dan sekali-kali pun Tuhan tak akan mengkhianati cinta kita kepada-Nya. Nanti ketika kita sampai di liang kubur dan kita benar-benar sudah tidak dapat bergerak, tangisan sekencang apa pun tak akan menyelamatkan kita.

Kita selalu membanggakan kekasih kita yang cantik atau tampan. Seminggu saja kekasih kita tersebut tidak mandi, maka tubuhnya akan menjadi tumpukan kotoran, rambutnya penuh ketombe, tubuh dan mulutnya bau busuk, setiap lipatan badannya akan penuh daki, muncul lendir-lendir yang menjijikan. Sungguh kecantikan dan ketampanan mudah sekali memudar, dan tak membutuhkan waktu yang lama.
Tapi Tuhan Maha Cantik, terpelihara dari segala kotoran, Dia sendirian dalam kesempurnaan. Puji-pujian kita sudah habis kita persembahkan kepada manusia, sehingga tak tersisa lagi untuk Yang Maha Indah.

Kita merasa bahagia serta bangga apabila kekasih kita kaya raya atau keturunan pembesar dunia. Kita merasa hidup kita akan tercukupi.
Tapi tujuh lapis langit dan bumi ini berada dalam genggaman-Nya. Dia Maha Raja dari semua raja. Dan kekayaan khasanah-Nya itu tidak dapat dikurangi oleh siapa pun. Kurang bahagia apa lagi apabila kita bersama-Nya.

Jatuh cinta itu bukan suatu dosa.

Tapi bila cintaku kepada mahluk lebih besar daripada cintaku kepada Tuhan, maka Demi Zat yang Menggenggam jiwaku seumur hidup pun aku rela tidak mencintai atau dicintai oleh siapa pun...

Pinjaman

Oleh: Anonim

Satu hal yang banyak aku belajar dari suamiku adalah sifat pemurahnya. Aku memahami bahwa sifat ini harus dimiliki oleh setiap orang Islam. Tetapi mengeluarkan sesuatu yang kita susah payah untuk meraihnya, buatku masih merupakan hal yang agak berat dilakukan. Kondisi ekonomi keluarga kami alhamdulillah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Cukup dalam arti yang sebenarnya pemasukan kurang lebih sama dengan pengeluaran. Kalau dapat menabung itu pun karena aku memutar otak agar dapat memanajemen uang yang masuk dengan efektif. Tapi karena sifat suamiku yang seperti itu, sampai hampir empat tahun kami menikah, tabungan kami tak pernah bertambah. Selalu saja terpakai untuk orang lain. Aku bersyukur diberi Allah suami yang seperti Bang Razak.
Karena selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingannya ataupun keluarganya sekali pun.
Tapi kadang-kadang...
"Kata siapa tabungan kita nggak banyak, Tia..Malahan dikasih bunga sama Allah sampai 700 kali lipat.." Begitu selalu katanya, ketika kusinggung tentang tabungan kami yang tak pernah bertambah.
"Kalau ada seseorang yang meminjam kepada kita, kita harus bersiap-siap mengikhlaskannya sebagai sedekah karena kemungkinan tidak dapat mereka bayar juga ada..." Kata Bang Razak di lain waktu ketika kami memerlukan uang cukup banyak untuk membayar ongkos reparasi mobil butut Bang Razak yang mengalami benturan karena tabrakan. Dan karena uang persediaan yang ada tidak mencukupi terpaksa malah kami yang harus meminjam kekurangannya pada seorang kawan. Dan malah kami yang jadi berhutang.

Siang itu aku bersama Hilya dan Fuadi (anak-anakku) pergi mengunjungi Mbak Ratna, untuk menyampaikan amanat Bang Razak mengembalikan pinjaman uang untuk reparasi mobil tempo hari. Alhamdulillah, Mbak Ratna ada di rumah, karena aku tak sempat menghubunginya sebelumnya.
"Tia..masuk.." katanya ketika melihat aku yang mengetuk pintu.
Setelah mengobrol ke sana ke mari, aku menyerahkan amplop cokelat pada Mbak Ratna. "Ini Mbak, uang pinjaman tempo hari..Alhamdulillah. Jazakillah khoir.."
Mbak Ratna tersenyum,"Sudah dibayar kok, Tia. Mas Bambang yang memberitahukan padaku semalam. Katanya kalau keluarga Razak datang mengembalikan pinjaman, pinjaman itu sudah lunas sejak seminggu lalu.."
Aku Terlongong sebentar, "Loo..siapa yang membayarnya, Mbak..?"
"Aku juga kurang tahu..Tapi itu amanat yang disampaikan Mas Bambang..."
Masih dengan keherananku aku pulang dengan membawa kembali amplop cokelat itu. Sesampai di rumah kulihat Salman, adik bungsuku, telah menunggu di beranda.
"Lho, kok nggak masuk saja, kan ada Imah di dalam," tegurku ketika kulihat tampaknya Salman sudah agak lama menunggu.
"Justru karena ada Imah di dalam, nggak masuk," jawab Salman sambil mengambil Fuadi dari gendonganku dan menggandeng Hilya. Dan mendahuluiku masuk rumah sambil mengucap salam berbarengan dengan Hilya.
Aku tersenyum mengikuti di belakang mereka. Aku bangga pada Salman, karena dia tahu batas-batas berkunjung ke rumah orang, walaupun rumah kakaknya sendiri. Memang rumah kami kecil, sehingga agak rikuh untuk berlama-lama dengan non mahram. Itulah sebabnya mengapa Salman memilih menunggu di teras.
"Wa'alaikum salam. Wah, Ibu sudah pulang. Untung Imah sudah selesai masaknya. Tadi Mas Salman yang Imah minta di dalam, tetapi nggak mau, katanya kalau mas Salman yang di dalam masakan nggak akan selesai." Aku tertawa mendengar laporan Imah.
"Tuh, gara-gara kamu Imahnya jadi diburu-buru masaknya," Salman hanya nyengir.
"Ada apa kok, tumben kau datang siang-siang begini..? Tak ada kuliah..?" Aku bertanya sambil sibuk menyuapi Hilya dan Fuadi bergantian.
"Hmm..." Salman masih sibuk dengan makanan yang dikunyahnya.
"Aku perlu uang Ceu Tia," jawabnya setelah menelan makanan yang ada di mulutnya.
"Lho, bukannya buat bulan ini sudah ada?" tanyaku.
Biaya kuliah Salman memang sebagian besar kami yang menanggung. Abah sudah pensiun ketika Salman harus masuk perguruan tinggi. Gaji pensiunan kepala sekolah dasar saja tentu tidak mencukupi untuk membiayai kuliah. Aku anak kedua dari tiga orang bersaudara. Kakak perempuanku, meskipun sudah menikah, keadaan ekonominya tak cukup memungkinkan untuk ikut membantu membiayai kuliah Salman. Atas usul Bang Razak, akhirnya biaya kuliah Salman kami yang menanggung. Salman sendiri bukannya tidak berusaha untuk berdikari. Dia memberi les privat sambil kuliah.
"Yang ini bukan buat urusan kuliah, Ceu...Tapi buat urusan masa depan."
"Aku kan juga harus memikirkan buat berdikari, kasihan kalau harus minta Ceu Tia dan Bang Razak terus. Apalagi Hilya dan Fuadi sudah beranjak besar. Tentunya memerlukan investasi buat pendidikan mereka."
"Hmm, terus."
"Iya..aku ingin wiraswsta kecil-kecilan, bersama beberapa kawan. Dari itu aku butuh modal. Makanya aku ingin pinjam modal itu dari Ceu Tia dan Bang Razak, kalau Ceu Tia nggak berkeberatan."
"Insya Allah nanti aku bicarakan dengan bapaknya Hilya dan Fuadi. Ngomong-ngomong berapa yang kau perlukan? Mungkin kalau kau perlunya banyak, tak bisa kami penuhi semuanya."
Salman menyebutkan sejumlah uang. Hmm, aku jadi teringat amplop cokelat yang tak jadi kubayarkan itu. Dua kali lipat yang ada di situ. Tapi aku tak bisa memberikannya pada Salman sekarang. Aku harus membicarakannya dulu pada suamiku.
Akhirnya, jadilah Bang Razak menyetujui rencana Salman. Aku jadi tertawa sendiri. Ternyata ada hikmahnya juga pinjam meminjam ini. Uang yang datang, tanpa diduga, ternyata perginya juga tanpa diduga. Uang yang seharusnya untuk membayar pinjaman yang ternyata telah lunas itu, sekarang dipinjam Salman. Ah, mungkin dengan cara begini Allah membagi rizki hamba-hamba-Nya. Pikirku belajar dari kejadian itu.

*******

Aku sedang asyik memeriksa pe-er murid-muridku, ketika kudengar seruan Imah dari ruang tamu."Bu, Ibu! Ada tamu yang mencari Bapak."
Aku beranjak mengambil jilbab kausku dan bergegas memakai kaus kaki butut yang senantiasa selalu kuletakkan berdekatan dengan jilbab kaus. Sambil membuka pintu, kujawab salam itu.
"Maaf, Bu. Benar ini rumah Pak Razak?"
"Iya benar. Maaf, Pak, suami belum datang sekarang. Boleh saya tahu Bapak siapa? Biar bisa saya sampaikan pada suami."
"Saya Jumadi, Bu. Pak Razak insya Allah mengenal saya. Kalau begitu tolong serahkan saja surat dan bungkusan ini pada pak Razak. Lain kali, jika ada kesempatan insya Allah, saya bertandang lagi."
Aku menutup pintu dengan sedikit pertanyaan. Kuamati bungkusan kecil yang cukup tebal itu. Kutahan rasa keingintahuanku yang kuat. Ini amanah buat bang Razak. Tidak sepatutnya aku membukanya sebelum sampai ke tangan Bang Razak sendiri.

Lewat Isya Bang Razak baru datang. Seperti biasa, kedatangannya di sambut ramai oleh Hilya dan Fuadi yang baru saja bisa berjalan tertatih-tatih. Hilya mencium tangan ayahnya seraya mengambil tas kantor ayahnya. Bang Razak bergerak ke arahku sambil menggendong Fuadi di lehernya.
"Afwan, Tia. Pulangnya kemalaman. Seperti biasa ngadat lagi tuh 'gerobak'. Alhamdulillah banyak yang mau mbantuin dorong," katanya tertawa.
Aku ikut tertawa. Bang Razak menyebut mobil butut kami dengan "gerobak". Walaupun gerobak, mobil itu telah banyak membantu kami, khususnya Bang Razak yang banyak mempunyai kesibukan di luar kantor. Dapat aku bayangkan, bagaimana jika Bang Razak hanya mengandalkan kendaraan umum saja. Bisa-bisa setiap hari baru jauh malam Bang Razak bisa pulang ke rumah. Sudah lama sebenarnya ada keinginan untuk menggantikannya dengan yang lain, biarpun mobil bekas. Tapi ya, itu... Anggaran untuk mencicilnya tidak bisa disisihkan. Sehingga jadilah keinginan hanya tinggal keinginan. Di meja makan kuceritakan tentang kedatangan Pak Jumadi dan tak lupa kuserahkan pula bungkusannya.
"Pak Jumadi itu siapa, Bang?"
"Orang tua dari teman sekelas Abang dulu di SMA."
"Perempuan?" tanyaku ingin tahu.
"Lho? Memangnya kenapa kalau perempuan? Namanya juga teman sekelas, bisa saja toh perempuan." Jawab Bang Razak santai sambil membuka amplop surat. Aku memandangi Bang Razak dengan gemas karena jawabannya. Kulihat perlahan air muka Bang Razak berubah. Nampak rasa haru membias di matanya. Lalu Bang Razak memandangiku sambil menyerahkan kertas yang tadi dibacanya.

Nak Razak, Alhamdulillah keadaan kami sekeluarga jauh lebih baik dari 7 tahun lalu. Usaha dagang kami yang dulu sempat pailit karena tertipu orang, dengan ijin Allah perlahan-lahan membaik dan tampaknya mapan sekarang. Kami tak pernah melupakan jasa baik Nak Razak. Alhamdulillah. Kalau saja Nak Razak tidak meminjamkan uang itu pada kami, mungkin kami tidak dapat menikmati hasil dagang kami seperti sekarang. Karena tempat-tempat untuk meminjam modal waktu itu pun tidak mempercayai kami lagi, karena tidak ada satu barang berharga pun yang dapat kami jadikan jaminan. Di saat seperti itu hanya Nak Razak lah yang mau meminjamkan kami uang dalam jumlah yang cukup besar. Meskipun, mungkin sebenarnya Nak Razak memerlukannya juga. Kami mengerti, sebesar-besar beasiswa yang diterima di luar negeri pun, toh diperlukan untuk keperluan Nak Razak sendiri. Tapi Nak Razak begitu pecaya pada kami, yang statusnya hanyalah orang tua dari teman sekelas.
Bahkan di surat terakhir Nak Razak mengatakan, tak usah dipikirkan sebagai hutang, karena Nak Razak sendiri sudah mengikhlaskannya.

Nak Razak, Rahmad sendiri sekarang Alhamdulillah telah menikah, bahkan telah dikaruniai seorang putra. Karena bantuan Nak Razak pula anak kami itu dapat menyelesaikan kuliahnya dengan selamat. Sebenarnya, telah lama kami merencanakan untuk mengembalikan pinjaman uang kami. Tapi baru sekarang jumlah yang sama dengan waktu meminjam dapat kami kumpulkan. Sehingga terpikirlah oleh kami, betapa sebenarnya uang ini bagi Nak Razak sendiri sangat berarti. Kami jadi merasa bersalah, karena sejak Nak Razak kembali pulang ke Indonesia pun, tak pernah datang menagih uang yang sebenarnya masih menjadi hak Nak Razak.
Alhamdulillah, kami mendapat alamat Nak Razak di Bandung lewat orang tua Nak Razak di Jakarta. Dan dengan ijin Allah, surat dan uang ini sampai di tangan Nak Razak dan keluarga. Terima kasih atas kepercayaan yang Nak Razak berikan kepada kami. Semoga Allah memberkati Nak Razak dan keluarga, serta memberi ganjaran yang setimpal dengan apa yang telah Nak Razak kerjakan.

Aku menatap Bang Razak yang tengah memandangiku.
"Ini..," kataku terputus sambil mendorong bungkusan itu ke dekat Bang Razak.
Bang Razak tak pernah menceritakan hal ini sedikit pun kepadaku. Walau beliau banyak menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika belajar di Jepang, namun tak pernah sekali pun menyinggung masalah yang ini. Bang Razak rupanya tak mau merusak keikhlasannya dengan mengungkit-ungkitnya. Rasa hormatku makin bertambah pada suamiku.
"Ini Abang percayakan pada Tia," katanya sambil mengambil tanganku dan meletakkan bungkusan kecil itu di atas tanganku.
"Sebanyak ini?" tanyaku agak ragu.
Bang Razak mengangguk.
"Tapi ingat, ini hanyalah pinjaman dari Allah," lanjutnya sambil tersenyum.
Aku mengangguk haru. Ini adalah kedatangan rizki yang tak kuduga-duga kedua kalinya sejak kejadian pinjaman kami yang tanpa sepengetahuan kami telah terbayarkan itu. Tapi kali ini aku merasakannya juga sebagai teguran Allah atas rasa beratku dan ketidakikhlasanku dalam memberi pada orang lain, juga atas ketidaksabaranku, yang kadang-kadang terdesak keadaan, menunggu piutang pada seseorang untuk segera dilunasi. Aku menyimpan bungkusan itu di lemari pakaian tanpa kubuka. Biarlah sampai ada yang datang lagi memerlukan sebagian darinya, baru kubuka. Begitu niatku. Tak lama beberapa menit setelah itu...
"Tia!" kudengar seruan Bang Razak yang berjalan ke arah kamar di mana ku berada.
"Abang lupa, Abang tadi pinjam uang pada Rudi buat ongkos bengkel."

selesai..