Senin, 07 September 2009

Dari Lorong-Lorong Rumah Sakit; Sehat Itu Mahal

Oleh: Diana Gustinawati

"Sehat itu mahal lho." Barangkali kita sering mendengar kata-kata seperti ini. Sepintas lalu kalimat itu terdengar tidank begitu "heboh". Paling-paling juga ditanggapi dengan sekilas senyum tipis atau anggukan kecil saja.

Memang kalau kita coba merenungkan denyut kehidupan disekeliling kita, sehat itu adalah hal biasa kita temukan sehari-hari. Saya mengira-ngira persentase orang yang sehat itu pasti lebih besar bila dibandingkan dengan persentase orang yang sakit. Nah, kalau begitu sehat nggak mahal dong? Darimana kalimat mahal ini bisa timbul?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya mengajak pembaca semua sejenak melayangkan pandang pada atmosfer sebuah Rumah Sakit. Bersiaplah dan ikut kaki saya melangkah dari pintu gerbang RSHS menuju Poli Bedah Mulut dan Rahang di lantai III emergency Lama. Setegar-tegarnya langkah saya menapaki satu persatu ubin dilantai I, saya tetap akan merasa kelu saat bertemu dengan kerumunan orang-orang tua yang dengan sabar menunggui seorang nenek yang tergeletak di atas brankar karena stroke. Dari profil mereka masing-masing saya bisa memperkirakan bahwa mereka bukan termasuk golongan orang yang berada. Kain dan baju yang lusuh, selimut rumah yang kusam, dan sedikit obrolan mereka tentang beratnya biaya yang mesti ditanggung untuk pengobatan. Ya Rabb, betapa mahalnya mereka harus membayar kesehatan ibunya…batin saya sambil mencoba menembus kerumunan menuju lift.

Sebuah kemahalan dari segi pengorbanan dan kemahalan dari pasokan biaya perawatan merupakan masalah moril dan material yang nyata dihadapi oleh setiap pasien pikir saya sambil tetap menekuri panah lift menuju lantai III. Sekilas ketika saya tersenyum tipis pada dokter Evi, residen bedah mulut, di samping saya telah berdiri seorang ibu yang menggendong anaknya yang masih merah. Tangisnya yang sayup mengundang saya untuk melirik wajah mungil itu. Masya Allah! Saya hampir menutup mulut karena kagetnya, wajah mungil dan merah itu ternyata berbibir sumbing! Celahnya tidak hanya pada bibirnya saja tapi juga melewati gusi dan palatum! Sebuah cacat bawaan lahir yang tidak ada seorang pun yang menduga dan tidak ada satu ibu pun yang pernah terpikirkan untuk mengalaminya. Dengan lembut dokter Evi melayani pertanyaan-pertanyaan sang ibu dan memberikan berbagai saran. Sepertinya beliau memang bertanggung jawab terhadap operasi anak mungil itu.

Baru saja kaki saya melangkah ubin lantai III, dokter Abrup berteriak mengagetkan, "Hei Din, cepet masuk poli! Pasien udah banyak tuh!"

Saya tidak memperdulikan teriakannya, malah lari menyambar baju poli.

"Dok, Ibu Wati kenapa masih datang juga? bukannya waktu jaga kemarin, temen-temen bilang dia udah mau dijadwal operasi?" tanya saya sambil membuka status.

"Ya..ndak semudah itu toh? Mengoperasi pasien itu kita perlu mencari dengan tepat lokasi lesinya dimana, terus…berbagai faktor yang mendukung treatment juga mesti kita lacak dan disinkronkan. Sekarang, gimana mau dimulai..lha wong..HB sama fungsi ginjalnya masih kaco gitu ko!" dokter Abrup menjelaskan sambil tetap melepas verban seorang anak kecil.

Ya Rabb, saya tercenung menatap Ibu Wati yang ditemani keluarga di kursi panjang. Mukanya yang bengkak dan merah serta wajahnya yang meringis menahan sakit memperlihatkan betapa parah kanker yang dia derita. Sementara, masih terlalu panjang alur pengobatan yang mesti dia alami setelah ini.

Sahabat, ternyata "sehat itu mahal" karena untuk menghilangkan sumber penyakit saja, kita perlu pengorbanan yang tidak kecil. Ketika satu persatu pasien saya panggil, pandangan saya selalu tertumbuk oleh sinar mata mereka yang seolah menggambarkan berbagai perasaan hati mereka. Kepasrahan, kesakitan, kekhawatiran, dan juga pemikiran beratnya biaya kesembuhan.

Upf, alhamdullillah…status terakhir telah selesai. Sahabat sudah melihat semua perjalanan saya menuju lorong "sehat". Kita, saya, dan semuanya mungkin sekarang hanya bisa menjadi pengamat nurani saja. Tapi satu hal yang patut kita renungkan sekarang, nanti dan seterusnya bahwa, sehat itu mahal..dan menjadi sehat adalah karunia yang tak terhingga. Fastabiqul Khairat!

1 komentar: