Senin, 07 September 2009

Selalu Berdzikir

Oleh: Mahmudien Nachrowi

“Apabila kalian telah selesai shalat, maka berdzikirlah kepada Allah dengan berdiri, duduk dan tidur.” (QS. An-Nisa: 103)

Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “Jadi maksud ayat ini ialah jangan lepas (kosong) dari berdzikir, baik di waktu malam dan siang, di daratan atau di lautan, di saat bepergian atau di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, waktu badan sehat atau sakit dan dalam keadaan sunyi atau banyak orang”.

Dzikir atau ingat merupakan bentuk kesadaran seseorang terhadap diri pribadinya sebagai makhluk yang serba lemah dan terbatas. Ketika itulah ia mengungkapkan kemahabesaran dan kemahakuatan Allah lewat kalimat dzikir. Dengan subhanallah dia tengah memuji kemahasucian Allah, Dzat yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Bacaan Allahu Akbar untuk mengagungkan Allah, penguasa semesta alam yang tanpa tanding. Bacaan alhamdulillah sebagai pujian dan ungkapan syukur atas segala karunia-Nya.

Dzikir merupakan kebutuhan setiap makhluk. Melalui amalan dzikir, seseorang merasakan kesertaan Allah pada dirinya. Itulah mengapa dzikir menjadi kiat mencapai ketenangan batin. Seseorang yang tengah menghadapi persoalan serumit apa pun, dia akan merasakan terbantu dan tertolong lewat kalimat dzikir. Mengapa? Karena Allah tidak melepaskan dia menghadapi persoalan yang sulit itu sendirian. Bagi seorang mukmin, tidak ada alasan untuk takut menghadapi kondisi apa pun. Di tempat yang sunyi, di sana ada Allah. Di keramaian dan hiruk-pikuk manusia pun, dia tidak sendirian, karena Allah senantiasa menyertainya. Bahkan di medan laga, ketika ia dihadang musuh dan tidak ada celah untuk berlindung, Allah mengawalnya.

Firman Allah dalam hadits Qudsi: “Apabila ada seorang hamba-Ku ingat pada-Ku dalam hatinya, maka Aku pun ingat padanya dalam Dzat-Ku. Apabila ia ingat pada-Ku di depan orang banyak, maka Aku pun ingat padanya di depan kumpulan makhluk yang lebih mulia dari kumpulannya. Apabila ia mendekat pada-Ku sejengkal, maka Aku pun mendekat padanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari & Muslim)

Maka amat disayangkan jika ada orang yang telah mengaku beriman kepada Allah, dia masih takut kepada sesama manusia. Dia takut kepada atasan. Suatu ketakutan yang ujung-ujungnya mengalahkan kepatuhannya kepada Allah.
Singkatnya, tidak ada ketenangan dalam jiwanya. Yang berarti dia tidak merasakan kehadiran Allah. Mengapa iman yang telah ia genggam berpuluh tahun tidak memberi pengaruh? Lalu apa bedanya dengan mereka yang tidak mengaku beriman? Di sinilah pentingnya dzikir untuk menghidupkan “kesertaan Allah”. Bukankah melalui dzikir laa ilaaha illallaah, iman kita disegarkan kembali? Sebagaimana pesan Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasai: “Perbaharuilah imanmu dengan laa ilaaha illallaah”.

Alangkah indahnya ketika seseorang berjalan, bekerja, naik kendaraan, atau tengah antri untuk mendapatkan sesuatu, lidahnya bergerak dan memuji Allah. Maka setiap yang ia hadapi menjadi mudah dan menyenangkan. Itu sebagai akibat dari hati lapang, tidak menyimpan dendam, bebas dari marah dan dengki, karena hati yang disibukkan oleh dzikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar