Jumat, 21 Agustus 2009

Aku Tidak Lebih Dulu ke Surga

Oleh: Bayu Gawtama

Aku tidak tahu dimana berada. Meski sekian banyak manusia berada di sekelilingku, namun aku tetap merasa sendiri dan ketakutan. Aku masih bertanya dan terus bertanya, tempat apa ini, dan buat apa semua manusia dikumpulkan. Mungkinkah, ah .. aku tidak mau mengira-ngira.


Rasa takutku semakin menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak pernah kukenal sebelumnya mendekati dan menjawab pertanyaan hatiku. “Inilah yang disebut Padang Mahsyar”, suaranya begitu menggetarkan jiwaku. “Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku?” batinku. Aku menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari seseorang yang kukenal.

Kusaksikan langit menghitam, sesaat kemudian bersinar kemilauan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan, hari dimana semua manusia akan menerima keputusan akan balasan dari amalnya selama hidup di dunia. Hari ini pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya, surgakah yang akan dinikmati atau adzab neraka yang siap menanti.

Aku semakin takut, namun ada debar dalam dadaku mengingat amal-amal baikku di dunia. Mungkinkah aku tergolong orang-orang yang mendapat kasih-Nya atau jangan-jangan...

Aku dan semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari Yang Menguasai Hari Pembalasan. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara menggema tadi yang mengatakan bahwa sesaat lagi akan dibacakan daftar manusia-manusia yang akan menemani Rasulullah saw. di surga yang indah. Lagi-lagi dadaku berdebar, ada keyakinan bahwa namaku termasuk dalam daftar itu, mengingat banyaknya infaq yang aku sedekahkan. Terlebih lagi, sewaktu di dunia aku dikenal sebagai juru dakwah. “Kalaulah banyak orang yang kudakwahi masuk surga, apalagi aku” pikirku mantap.

Akhirnya, nama-nama itupun mulai disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa namaku ada dalam deretan penghuni surga itu, mengingat ibadah-ibadah dan perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu, nama Rasulullah Muhammad saw. sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai janji Allah Swt. melalui Jibril, bahwa tidak satu pun jiwa masuk ke dalam surga sebelum Muhammad saw. masuk. Setelah itu tersebut lah para Assabiquunal Awwaluun. Kulihat Fatimah Az-Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia sebagai wanita pertama yang ke surga, diikuti para istri dan keluarga rasul lainnya.

Para nabi dan rasul Allah lainnya pun masuk dalam daftar tersebut. Yasir dan Sumayyah berjalan tenang dengan predikat Syahid dan Syahidah pertama dalam Islam. Juga para sahabat lainnya, satu per satu para pengikut terdahulu Rasul itu dengan bangga melangkah ke tempat dimana Allah Swt. akan membuka tabirnya. Yang aku tahu, salah satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah melihat wajah Allah. Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah bersyukur mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang bersama Muhammad saw. dalam menegakkan risalah. Setelah itu tersebutlah para mukminin terdahulu dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah.

Sementara itu dadaku berdegup keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu melihat rombongan anak-anak yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati kesegaran telaga kautsar. Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan tanggannya kepadaku. Sepertinya aku kenal mereka. Ya Allah, mereka adalah anak-anak yatim sebelah rumahku yang tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu menangis kelaparan di malam hari sementara sering kubuang sebagian makanan yang tak habis kumakan.

“Subhanallah, itu si Parmin tukang mie dekat kantorku”, aku terperangah melihatnya melenggang ke surga. Parmin, pemuda yang tidak pernah lulus SD itu pernah bercerita bahwa sebagian besar hasil dagangnya ia kirimkan untuk ibunya dan biaya sekolah empat orang adiknya. Parmin yang rajin sholat itu, rela berpuasa berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba, orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi, “Parmin yang tukang mie itu lebih baik dimata Allah Swt. Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain”. Sementara aku, semua hasil keringatku semata untuk keperluanku.

Lalu berturut-turut lewat di depan mataku, mbok Darmi penjual pecel yang kehadirannya selalu kutolak, pengemis yang setiap lewat depan rumahku dan selalu mendapatkan kata “maaf” dari bibirku di balik pagar tinggi rumahku. Orang disampingku berbicara lagi seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tidak kulontarkan, “Mereka ikhlas, tidak sakit hati serta tidak mendendam kebencian meski kau tolak.”

Masya Allah murid-murid pengajian yang aku bina, mereka mendahuluiku masuk ke surga. Setelah itu, berbondong-bondong jamaah masjid-masjid tempat biasa aku berceramah. “Mereka belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Sedangkan kau, terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengar. Padahal, lebih banyak yang bisa dipelajari dengan mendengar daripada berbicara” jelasnya lagi.

Aku semakin penasaran dan terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring dengan itu antrian manusia-manusia dengan wajah ceria, semakin panjang. Tapi sejauh ini, namaku belum juga terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera bertemu Allah dan berkata, “Ya Allah di dunia aku banyak melalukan ibadah, aku bershodaqoh, banyak membantu orang lain, banyak berdakwah, ijinkanlah aku ke surga-Mu.”

Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara lagi, aku ingin menolaknya, tetapi tanganku tak kuasa menahannya untuk berbicara. “Ibadahmu bukan untuk Allah, tapi semata untuk kepentinganmu mendapatkan surga Allah, shadaqahmu sebatas untuk memperjelas status sosialmu, di balik bantuanmu tersimpan keinginan untuk mendapatkan penghargaan dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu”, bergetar tubuhku mendengarnya.

Anak-anak yatim, Parmin, mbok Darmi, pengemis tua, murid-murid pengajian, jamaah masjid dan banyak lagi orang-orang yang sering kuanggap tidak lebih baik dariku, mereka lebh dulu masuk ke surga Allah. Padahal, aku sering beranggapan, surga adalah balasan yang pantas untukku atas dakwah yang kulakukan, infaq yang kuberikan, ilmu yang kuajarkan dan perbuatan baik lainnya. Ternyata aku tidak lebih tunduk daripada mereka, tidak lebih ikhlas dalam beramal daripada mereka, tdak lebih bersih hati daripada mereka, sehingga aku tidak lebih dulu ke surga dari mereka.

Termasuk Manakah Anda ?

Jam dinding berdentang tiga kali. Aku tersentak bangun dan astaghfirullah, ternyata Allah Swt. telah menasihatiku lewat mimpi malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar