Senin, 31 Agustus 2009

Kekafiran Valentine’s Day (Kristologi)

Oleh: A. Maria Mumtazah

Latah! Inilah penyakit akidah umat, utamanya para remaja ABG. Mereka dengan mudah diseret oleh hal-hal yang berbau tren dan apa saja yang dianggap modern. Ketika westernisasi masuk melalui tradisi Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) setiap tanggal 14 Februari, tanpa pikir-pikir, anak-anak muda pun membebek. Bila tidak ikut-ikutan, takut dikatakan ketinggalan zaman oleh teman-temannya.

Maka jadilah tanggal 14 Februari seperti hari raya untuk mengungkapkan kasih sayang dan persahabatan kepada orang-orang dekat, baik teman sejenis maupun lawan jenis. Ada yang sekedar memberikan kartu Valentine, kado dan SMS, bahkan ada yang mengadakan pesta mewah dengan berbagai acara, dari acara sekedar hiburan sampai kepada pesta yang menjurus kepada perilaku kebebasan seksual (free sex). Na’udzu billah.

Sejarah Kekafiran Hari Valentine

Pada masa Romawi Kuno, tanggal 13-18 Februari, terdapat Perayaan Lupercalia dalam rangkaian upacara penyucian. Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Constantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 versi Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan Pendeta St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Yesus Kristus dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St. Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St. Valentine (yang hidup di akhir abad ke-3 M) melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda, sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati pada 14 Februari 269 M, Valentine mengirim sebuah kartu yang bertuliskan “Love from your Valentine.” Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama Kristen bersama 46 kerabatnya (lihat: The World Book Encyclopedia,1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Prancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol. 12 hal. 242; The World Book Encyclopedia,1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be my Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa.” Kata ini ditujukan kepada Nimrod (Namruj) dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa?” dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” Dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri!

Versi ketiga menyebutkan ketika agama Kristen tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan “dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini.”

Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat “dengan nama tuhan Ibu” menjadi kalimat “dengan nama Pendeta Valentine” sehingga dapat menggiring para pemuda tersebut dengan agama Kristen.

Versi lain mengatakan St.Valentine ditanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus.

Itulah sejarah Valentine’s Day yang sebenarnya, yang seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Sayangnya, Valentine sudah kadung menjadi hari yang istimewa, bagi para remaja, termasuk remaja Muslim. Kebanyakan mereka hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal-muasalnya, sehingga tanpa disadari mereka telah terseret arus Barat dan mengekor ritual agama lain. Padahal Allah SWT memperingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isra’: 36)

Meski sudah jelas asal-usul kekafirannya, remaja-remaja ABG masih saja larut dalam tradisi Valentine’s Day. Menurut Samson Rahman, alumni International Islamic University, Islamabad, Pakistan, ada beberapa faktor yang menyeret remaja-remaja ABG ke dalam tradisi ini:

Pertama, remaja muslim kita tidak tahu latar belakang sejarah Valentine’s Day sehingga mereka tidak merasa risih untuk mengikutinya. Dengan kata lain, remaja muslim banyak yang memiliki kesadaran sejarah yang rendah.

Kedua, adanya anggapan bahwa Valentine’s Day sama sekali tidak memiliki muatan agama dan hanya bersifat budaya global yang mau tidak mau harus diserap oleh siapa saja yang kini hidup di -meminjam istilah McLuhan- global village.

Ketiga, keroposnya benteng pertahanan religius remaja kita sehingga tidak mampu lagi menyaring budaya dan peradaban yang seharusnya mereka “lawan” dengan keras.

Keempat, adanya perasaan loss of identity kalangan remaja muslim sehingga mereka mencari identitas lain sebagai pemuas keinginan mendapat identitas global.

Kelima, hanya mengikuti trend yang sedang berkembang agar tidak disebut ketinggalan zaman.

Keenam, adanya pergaulan bebas yang kian tak terbendung dan terjadinya desakralisasi seks yang semakin ganas.

Merayakan Valentine menyeret kepada kekafiran

Janganlah terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, karena kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan umat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan:

“Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?' Baginda bersabda: 'Kalau bukan mereka, siapa lagi?'” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Said Al-Khudri)

Lebih jauh lagi, Rasulullah memperingatkan bahaya tasyabbuh: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (gaya hidup dan adat-istiadatnya), maka ia termasuk golongan tersebut.” (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad dari Ibnu Umar)

Jika sudah jelas bahwa Valentine’s Days adalah upacara agama kafir, lalu para remaja Muslim ikut-ikutan merayakan perayaan Valentine, apakah mereka nekad mau dikatakan sebagai golongan kaum kafir?

Jangan tertipu!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar