Senin, 24 Agustus 2009

Kenangan Fitri

Oleh: Anonim

"Ukhti....
Di hari yang suci ini, perkenankanlah aku memohon maaf atas segala kesalahan yang telah kuperbuat, bertumpuk sudah dosa, salah, khillaf dan alpa, yang telah kuhadirkan dalam hari-harimu, maka pintaku satu..., maafkanlah semua itu. Jazakillaah atas nasihat-nasihat yang diberikan sehingga kudapat merasakan indahnya cahaya Islam...Pesanku, teruslah bergerak menebarkan jihad sucimu Wahai...'Aisyah FK' Semoga Allah selalu besertamu..... "

Innalillahi..., 'pengganggu stabilitas hari' ini canggih juga merangkai kata-kata..., kalau aku gadis ingusan yang genit barangkali aku sudah dari tadi pingsan! Kataku dalam hati.
"Dapat kartu dari siapa, Fit? Coba lihat!" Ratih yang tiba-tiba sudah ada di belakangku, dengan cepat merenggut kartu lebaran itu. Duh..., bisa jadi sensasi baru nih!
"Nah, ya..., ketahuan ya..., ada affair ya...?" godanya sambil mengangkat-angkat sepasang alis tebalnya, nakal.
"Naudzubillah..., jangan sampai deh...," elakku serius.
"Tapi nggak papa kok, Fit..., dia khan 'ikhwan'..."
"Ikhwan apaan nggak bisa jaga hijab begitu ...?" alisku bertaut satu sama lain. Terus terang aku agak terganggu dengan kartu lebaran itu. Iya...siapa sih perempuan yang nggak suka dipuji? Tapi kalau sampai pujiannya 'dahsyat' begini khan, berabe..., bisa-bisa hilang keikhlasanku, na'udzubillah....
"Lho...,dia khan 'kenceng' hijabnya, Fit, kalau ketemu sama perempuan nunduk, kalau bicara sama lawan jenis nggak ngeliatin, kalau jalan selalu mendahului perempuan, kalau..."
"Kalau lebaran suka ngirimin kartu akhwat..., puitis dan romantis lagi!!" sergahku kesal.
"Ala...setahun sekali ini khan boleh...," bantah Ratih.
"Aduuuuh..., itu logika setan, Ratih...," kataku, kuambil kartu lebaran itu dari tangan Ratih dan tanpa ampun, gunting kecil yang sedari tadi kugenggam pun beraksi. Kress...kress.., maka hancur luluh lah kartu lebaran yang wangi dan pasti mahal itu.
"Ck..ck..ck..., sadis!" komentar Ratih. Aku cuma mengangkat bahu. Ramadan memang idola di kampus. Apalagi di lab. Pathology, he is the most popular man there. Pinter, Co-ass di beberapa lab, sekaligus. Ramah, pemegang beasiswa, aktifis dakwah Islam dan sangat suka membantu akhwat! Yang terakhir ini yang paling kubenci. Bukan kenapa-napa sih..., bukannya jealous, bukaaan..., tapi duh Allah, banyak akhwat yang terkena penyakit hati gara-gara sikapnya yang satu ini. Dia amat sangat perhatian sekali (bayangin tuh saking bangetnya sampai hiperbolis begitu) so very-very care terhadap segala permasalahan akhwat. Kalau pas praktikum, beliau ini yang paling aktif membantu akhwat, dari ngasih mentoring tambahan sampai menasihati akhwat supaya jangan kebanyakan kena inhall..., duh, duh.... Mulanya sih aku nggak begitu ngegape dia..., cuma gara-gara Ratih aja aku jadi ikut merhatiin aktifitas beliau...(na loo.., ketahuan...).
"Eh, Fit..., menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya, kelihatannya Ramadan mengistimewakan kamu deh..." "Ngomong apa sih kamu ...? Sembarangan..."
"Dia pernah muji kamu di hadapan crew lab. Pathology, katanya begini. 'Seorang gadis itu semestinya ya seperti Fitri itu..., lincah, cerdas, enerjik, tapi tahu batas-batas dan sangat hati-hati dalam pergaulan...' Begitu...," kata Ratih konyol. Kontan mukaku memerah. Ratih tertawa melihatnya.
Aku heran sekali. Di kampus aku terkenal pendiam, apalagi bicara sama yang namanya laki-laki, uuu...bisa dihitung deh. Aku berusaha mengerjakan semua sendiri tanpa bantuan laki-laki. Sampai-sampai mereka menjulukiku ice girl. Kalau aku lewat, spontan mereka minggir. Seneng juga sih..., karena jadinya aku nggak pernah digerecokin dengan masalah-masalah picisan, atau digodain macam-macam. Tapi ya Allah..., kok sekarang malah ada orang yang 'suka' sama aku gara-gara kehati-hatianku menjaga hijab. Setan-setan..., pandai-pandainya kau menghias-hias perbuatan anak Adam!!

Aku masih menjelaskan materi Mahabbah kepada adik-adik angkatan '93 ketika tiba-tiba Titut, salah seorang dari mereka menelungkupkan wajahnya. Kukira dia cuma mengantuk, jadi kubiarkan saja. Tapi..., lho...kok....badannya tersengal-sengal begitu? Aduh..., Titut nangis, kenapa dia? Segera kuhentikan mentoring. Kupeluk Titut erat-erat, kuelus jilbabnya perlahan untuk menenangkannya.
"Sssh...ssshhh..., de' Titut kenapa...? Sakit ya ...?" tanyaku perlahan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Nafasnya masih tersengal-sengal, matanya merah, air matanya terus mengalir seperti sungai kecil. Aku betul-betul iba.
"Adek...adek..., sebaiknya mentoring kita cukupkan sekian dulu, kelihatannya Titut agak kurang sehat. Biarlah Mbak Fitri yang mengantar dia pulang nanti. Mari, kita tutup pertemuan kita kali ini dengan doa Rabithah bersama-sama..."
"Do you want to talk about it?" tanyaku pada Titut, ketika teman-temannya sudah pulang. Kusandarkan punggungku di pilar masjid, sejuk. Dingin. Kutatap Titut penuh kasih. Titut balas menatapku, sinar matanya ragu-ragu. Aku tersenyum, kuangkat alisku perlahan. Mencoba meyakinkannya. Titut terdiam, seperti mengumpulkan keberanian. Kutunggu reaksinya.
Tiba-tiba Titut menubrukku dan menangis di pelukanku, tersengal-sengal seperti tadi. Aku kebingungan. Kutengok kanan-kiri. Alhamdulillah masjid sudah sepi.
Kalau ada yang lihat adegan ini khan seru! Dramatis banget!
"Ti...Titut...sukaaa...banget sama dia, Mbak..., dia ramah, suka menolong, ganteng, pinter, bikin Titut, ...bikin Titut jadi..jadi..rajin belajar, tapi...tapi...eeenng..tapi..."
"Tapi kenapa, De'..?" tanyaku sambil meraba-raba duduk persoalannya.
"Tapi Mbak Fitri tadi bilang..eengg..., cinta sebelum nikah itu mengotori hati, zina hati, terus Titut...Titut...gimana, Mbak...Titut sayaaaaaang sekali sama dia...."
Ooooo...., itu duduk persoalannya. Mulutku monyong beberapa senti membentuk lingkaran kecil. Aku mengangguk-angguk.
"Eeemmmmm..., Mbak Fitri boleh tahu siapa dia, Tut ?" tanyaku hati-hati. Titut terdiam sejenak. Ia menatapku lekat. Kupegang tangannya.
"Trust me...," kataku menyakinkannya.
"Mas...Ramadan...," jawabnya sambil menundukkan kepala. Mulutku ternganga. Oh, Allah...makin banyak aja victim of love-mu Ramadan. Kataku dalam hati.

"Huh...dimana-mana Ramadan mania...!!!" kataku pada Ratih, sambil kubolak- balik buku Fisiologiku.
"Lho...kok kamu rese?! Jealous ya...?" goda Ratih.
"Ih, na'udzubillah..., bukan itu persoalannya nona manis," kujitak kepala Ratih, perlahan.
"Sekarang...bukan cuma Titut...tapi Dian, Rina...uh...mereka semua terjangkit Ramadan fever..., ini bisa menimbulkan fitnah, Rat, mosok aktifis dakwah cinta-cintaan sama bukan mahram begitu...," kataku pada Ratih.
"Ya...salah mereka sendiri kenapa GR dipelihara!!" kata Ratih cuek. Aku gemas jadinya.
"Tapi khan seharusnya Ramadan itu tahu, bahwa perhatian-perhatiannya, keramahannya, ringan tangannya, itu bisa diartikan lain..., seharusnya dia dong yang berhenti terlalu perhatian pada akhwat. Kasihan khan Rat..., sampai pada kelenger begitu...," kataku. Ratih terdiam. Lama kami berdua membisu, mencoba memecahkan masalah ini.
"Dinasehati aja deh, Fit!" usul Ratih memecah keheningan.
"Caranya...? Aku ngomong langsung gitu sama dia..., 'Ramadan,..jangan so care sama akhwat-akhwat ya..nanti pada ge-er...' Gila apa!?" protesku.
"Ck..Kamu ternyata kurang cerdas juga, Fit, salah kali dr. Pram suka memuji-muji kamu..., mahasiswi yang baik itu yang seperti Fitri. IP-nya tidak pernah di bawah tiga..., huuu...mendingan aku. IP dua koma tapi otak brilliant...," ejek Ratih. Aku cuma ketawa.
"Trus...gimana dooooong...!"
"Dibikin artikel!! Kamu khan pinter nulis...," kata Ratih.
"Oh...iya ya..., pinter juga kamu!!"
"Siapa dulu doooonggg..."
"Huuu..."

Setelah pembicaraanku dengan Ratih itu, tulisanku pun mulai nongol di buletin rohis kampus. Setelah beberapa saat buletin itu beredar, kudengar Ramadan sudah mulai berkurang kadar care-nya pada akhwat-akhwat. Tapi...rupanya ini bumerang buat aku. Dia malah jadi so care sama aku. Innalillahi...
Padahal ketika artikel itu kutulis, aku tidak menyertakan nama asli. Tapi nama samaran. Gimana dia bisa tahu itu tulisanku ya??? Kata Ratih, Ramadan sangat berterimakasih padaku atas nasihatnya lewat artikel itu. Aduh Allah..., kenapa jadi begini???
Beberapa kali tanpa sengaja kulihat Ramadan sedang asyik menatapiku dari kejauhan dengan pandangan yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Ya Allah...,
kuatkan iman ini, a'udzubillaahiminsyaithonirrojiim...
Sejak itu tiap tahun ia begitu rajin mengirimiku kartu lebaran yang isinya betu-betul memporak-porandakan hati. Duh Allah....

"Baca apa, De'..., sampai bengong begitu..." sebuah suara bariton membuyarkan lamunanku.
"Oh...eh...ini, De' Fit nemu kartu lebaran waktu masih kuliah dulu..," kuangsurkan kartu lebaran itu pada Mas Han, suamiku. Ya...beberapa saat setelah 'teror' cinta dari Ramadan melanda, Alhamdulillah dengan rahmat Allah aku dipinang seorang pria shalih yang usianya delapan tahun lebih tua dariku, ya Mas Han ini. "Mengenang masa lalu ya...," goda Mas Han. Aku tersipu malu. Mulutku merengut.
Mas Han tergelak. Dikucaknya jilbabku.
"Kalau misalnya De' Fit nggak segera nikah waktu itu...mungkin sudah jadi nyonya Ramadan ya??" goda suamiku.
"Wah..., mosok Allah ingkar janji sih, Mas...," sanggahku.
"Lho, apa hubungannya...?" tanya Masku pura-pura perahu, eh, pura-pura tidak tahu.
"Lha iya to..., firman Allah dalam surat An-Nuur itu khan jelas, Mas, seorang suami itu pasti sebanding dengan isterinya. Wanita baik-baik untuk laki-laki baik-baik, pezina buat pezina, mestinya yang nggak bisa jaga hijab ya buat yang nggak jaga hijab to Mas...Mosok suami De' Fit 'penggoda' begitu, De' Fit khan bukan 'penggoda'...," bantahku.
"Ah...apa iya?!?"
"Iyaaaa...," tandasku. Masku tergelak-gelak sampai keluar air matanya. Aku kheki sekali. Kucubit lengan Mas Han keras-keras. Ia meringis kesakitan. Tawa kami berderai beriringan. Bahagia deh.
Terima kasih Allah, kau berikan orang yang begitu santun kepadaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar