Kamis, 13 Januari 2011

Media Massa dan Islam

Kita sering menjumpai media massa tertentu menggunakan istilah "militan" dalam pemberitaannya. Apakah arti dari militan? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini memiliki arti "bersemangat" atau "bergairah". Istilah ini sebenarnya dapat bermakna baik. John M. Echols dan Hassan Shadily menerjemahkan kata 'militan' dengan 'fighting or warring' dan 'aggressive'. Jika kata ini digabungkan dengan akhiran "i" dalam bahasa Indonesia, menjadi 'militansi', dan dalam beberapa hal kata ini menjadi berkonotasi baik. Misalnya, seorang pejuang yang memiliki 'militansi' yang tinggi.

Tetapi, apa pun leksikal yang ada, makna yang berkembang di tengah masyarakat terhadap kata itu telah berubah, menjadi buruk. Sebab, kata ini terus-menerus dikaitkan dengan terorisme. Orang yang melakukan teror bukan saja disebut sebagai teroris, tetapi juga disebut militan. Media massa tersebut tampaknya tahu persis bagaimana menggiring isu terorisme, dan tahu persis bagaimana cara menggunakan istilah-istilah yang sensitif dan dapat menggiring opini masyarakat untuk membenci atau mewaspadai kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat Muslim.

Seringkali kata 'militan' diikuti dengan istilah lain seperti 'ekstremis', 'syariah' atau hukum Islam, dan 'teroris'. Dengan mudah kita dapat membaca, apa kemauan dari pembuat berita tersebut? Apa hubungannya antara penerapan syariah dengan teroris? Apakah syariah Islam merupakan barang haram di Indonesia? Secara de-facto dan de-jure, syariah Islam telah dilaksanakan di berbagai daerah dan menjadi salah satu sumber hukum yang sah di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum Barat.

Sejumlah hukum dan perundang-undangan di Indonesia juga merujuk kepada syariah Islam. Ada UU Pokok Perbankan, UU Zakat, UU Haji, UU Perkawinan, dan sebagainya. Bahkan, di IAIN-IAIN dan perguruan-perguruan Islam, hampir selalu ada jurusan atau fakultas Syariah.

Jika ada sebagian pelaku teror yang juga memerjuangkan syariah Islam, bukan berarti lalu orang boleh sewenang-wenang mengaitkan syariah dengan terorisme. Jika banyak pelaku korupsi dan penindasan terhadap rakyat juga sering meneriakkan demokrasi dan HAM, apakah boleh suatu media massa lalu menulis judul 'polisi awasi demokrat'?

Banyak media massa yang secara sengaja tidak memberikan klarifikasi makna terhadap kata-kata yang digunakannya. Dia berusaha membuat image, bahwa orang-orang yang berupaya menegakkan syariah, adalah disebut militan, dan orang militan itu sama saja dengan teroris, sehingga perlu diawasi polisi. Dan dengan Undang-Undang Terorisme No.15 Tahun 2003, orang yang dicurigai melakukan terorisme bisa ditangkap untuk diperiksa.

Media massa tersebut memang tidak ikut menangkap, tetapi berita-berita seperti itu dapat meningkatkan rasa saling curiga dan memutar jarum jam ke belakang lagi ketika banyak aktivis Islam ditempatkan pada posisi sebagai musuh negara. Inikah yang diinginkan media massa tersebut?

Seyogyanya, media massa berhati-hati menggunakan istilah-istilah tertentu yang dapat membuat persepsi yang keliru tentang sesuatu hal. Posisi media massa tertentu itu mungkin dapat dipahami, jika media tersebut memang membawa misi memojokan kelompok-kelompok Islam tertentu. Cara yang paling mudah untuk melakukan hal seperti itu adalah melakukan apa yang dalam teknik propaganda disebut teknik "name calling". Media-media Barat mudah sekali membuat kategorisasi semacam itu, misalnya menyebut kelompok tertentu sebagai kelompok garis keras, militan, radikal, dan sebagainya.

Salah satu tugas media massa adalah mencerdaskan atau mendidik masyarakat. Jika media massa secara sengaja melakukan pembentukan opini palsu ke tengah masyarakat, maka ini sebenarnya merupakan bagian dari satu bentuk teror, untuk menebar rasa takut ke tengah kaum Muslim.

Tindakan seperti itu sangat berbahaya, karena kaum Muslim yang merasa terzalimi, dan tidak mampu berbuat apa-apa, karena tidak berkuasa dalam dunia opini, dipaksa untuk menerima terus-menerus berbagai kezaliman yang ada.
Kita setuju hukum ditegakkan sebagaimana mestinya, termasuk dalam soal terorisme. Namun, seyogyanya, semua pihak berpikir arif dan bijaksana, apakah keadilan sudah ditegakkan dengan baik?

Seharusnya "definisi terorisme" diperhatikan benar-benar, sehingga jangan sampai Indonesia didikte oleh kekuatan besar untuk memberantas terorisme, sesuai kepentingan negara besar. Terorisme harus didefinisikan dalam konteks kepentingan bangsa Indonesia. Siapa pun yang berbuat untuk menghancurkan bangsa, maka dia perlu dimasukkan kategori 'teroris'. Jika tindakan Imam Samudra dan kawan-kawannya yang telah membunuh ratusan orang dikategorikan sebagai teroris dan diancam hukuman mati, maka koruptor kakap, penyelundup dan pengedar narkoba, pembuat obat palsu, penyelundup BBM ke lur negeri, pengedar pornografi, pemalsu uang rupiah, dan berbagai tindakan yang mengancam eksistensi bangsa lainnya, perlu juga dikategorikan sebagai teroris. Dampak dari korupsi kelas kakap adalah sengsaranya ribuan bahkan jutaan rakyat.

Definisi (baru) tentang terorisme ini sangat penting, agar sebagai bangsa, kita benar-benar mandiri dalam menentukan perjalanan kita ke depan dan merumuskan persoalan bangsa kita sendiri secara tepat. Seyogyanya, penanganan masalah terorisme tidak memicu masalah dan disintegrasi baru di kalangan masyarakat yang sudah begitu banyak ter-disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh media massa tertentu, dengan berupaya menciptakan image tentang terorisme kepada berbagai kalangan Islam lainnya, merupakan tindakan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Kewaspadaan adalah perlu, namun tidak seharusnya disertai dengan penyebaran rasa takut dan waswas di tengah masyarakat Muslim.
Kita juga patut mengimbau kepada aparat pemerintah, kiranya bertindak bijak dalam menangani masalah terorisme, sehingga orang-orang yang tidak bersalah tidak terzalimi. Sebab, Rasulullah saw. sudah mengingatkan, dosa kezaliman merupakan dosa yang cepat mendatangkan balasan dari Allah Swt. Antara orang yang terzalimi dengan Allah sudah terbuka hijab, sehingga do'anya makbul. Apalagi, jika yang terzalimi adalah hamba-hamba Allah yang sholeh. Rasulullah bersabda: "Kebaikan yang paling cepat mendapat balasan ialah kebajikan dan menyambung tali silaturahmi. Dan kejahatan yang paling cepat mendapat hukuman ialah kezaliman dan pemutusan tali silaturahmi." (HR. Ibnu Majah).


Sumber: Kumpulan Catatan Akhir Pekan Dr. Adian Husaini dengan editan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar