Rabu, 12 Januari 2011

Miss Universe dan Martabat Wanita (Indonesia)

Kita tahu, hampir setiap tahun, Indonesia menjadi langganan kunjungan Miss Universe. Bagi sebagian orang yang telah menjadi sekular, liberal, dan mendukung promosi budaya syahwat, maka kunjungan Miss Universe ini akan dianggap sebagai satu kehormatan. Bisa saja mereka berpikir, Indonesia, akan tertolong citranya di dunia internasional, karena dikunjungi oleh sang ratu kecantikan itu. Di mata internasional, Indonesia akan dipersepsikan sebagai negara yang aman dan berikutnya, pariwisata akan meningkat.

Apa artinya bagi bangsa Indonesia? Secara lisanul haal, bangsa Indonesia telah menerima nilai-nilai hedonis yang dikembangkan secara universal oleh kekuatan-kekuatan kapital maupun kekuatan ideologis tertentu.

Kedatangan Miss Universe ke Indonesia, harusnya disikapi sebagai hal yang serius oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan Muslim, karena ini merupakan bagian dari proses penghancuran moral dan nilai-nilai luhur sebuah bangsa. Kontes ratu kecantikan itu sendiri merupakan hal yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat wanita. Namun, karena nilai-nilai yang sudah berubah dalam peradaban Barat, maka kontes semacam itu sekarang dianggap sebagai bentuk peradaban yang mulia. Artinya, kontes yang mengeksploitasi wanita itu dianggap mulia, untuk meningkatkan martabat wanita.

Ada baiknya, kita menengok ke belakang, bagaimana sejarah peradaban Barat dalam melihat makhluk yang namanya wanita. Secara umum, sebagai peradaban yang sudah lepas dari nilai-nilai moral yang 'tetap' yang sifatnya 'keagamaan', mereka sekarang menganut prinsip relativisme dan humanisme.

Karena itu, mereka tidak pernah bertemu dengan kebenaran, karena konsep mereka adalah 're-search', mencari dan terus mencari. Setiap mereka bertemu dengan kebenaran, maka kebenaran itu mereka ingkari, dan mereka mencari lagi sesuatu yang akhirnya mereka sendiri tidak menemukannya.

Ini jelas berbeda dengan Islam, yang menganut 'kepastian' nilai. Sejak abad ke-7, Islam sudah memberikan garis yang tegas, bagaimana dalam memandang dan mendudukkan posisi wanita, baik secara individual, keluarga, dan masyarakat. Wanita yang ketika itu dipandang sebagai barang warisan, ditempatkan Islam sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki.
Banyak ayat Al-Qur'an yang menggambarkan, bahwa laki-laki dan wanita yang beramal salih, maka mereka akan mendapatkan balasan masing-masing. Wanita itu adalah setara dengan laki-laki. Bandingkan, bagaimana peradaban lain, ketika itu dalam memandang wanita. Di India, perempuan harus ikut mati kalau suaminya mati.

Philip J. Adler, dari East Carolina University, dalam bukunya World Civilizations, (terbit tahun 2000), menggambarkan bagaimana kekejaman Barat dalam memandang dan memerlakukan wanita. Sampai abad ke-17, di Eropa, wanita masih dianggap sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan untuk menggoda manusia. (Mungkin ini terpengaruh oleh konsep Kristen tentang Eva yang digoda oleh Setan sehingga menjerumuskan Adam) Sejak awal penciptaannya, wanita memang sudah tidak sempurna. Mengutip seorang penulis Jerman abad ke-17, Adler menulis: It is a fact that women has only a weaker faith (In God). Adalah fakta bahwa wanita itu lemah dalam kepercayaannya kepada Tuhan. Dan itu, kata mereka, sesuai dengan konsep etimologis mereka tentang wanita, yang dalam bahasa mereka disebut 'female' berasal dari bahasa Yunani 'femina'. Kata 'femina' berasal dari kata 'fe' dan 'minus'. 'Fe' artinya 'fides', 'faith' (kepercayaan atau iman). Sedangkan 'mina' berasal dari kata 'minus', artinya 'kurang'. Jadi 'femina' artinya 'seseorang yang imannya kurang' (one with less faith). Karena itu, kata penulis Jerman abad ke-17 itu: Therefore, the female is evil by nature. (Karena itu, wanita memang secara alami merupakan makhluk jahat).
Pandangan seperti itu, memiliki konsekuensi yang sangat serius. Pada saat itu, wanita banyak menjadi korban pembantaian, karena dianggap sebagai jelmaan setan. Banyak yang dibantai karena mereka dianggap sebagai tukang sihir. Adler mengungkap data, pada periode 1572-1629, 152 orang yang dituduh tukang sihir dibantai, dengan cara digantung atau dibakar hidup-hidup. Dari jumlah itu, hanya 8 yang laki-laki. Kadangkala, pada satu saat, 8 atau 9 wanita dibunuh. Sebanyak 306 orang, hampir semuanya wanita, dibantai hanya dalam tempo 6 tahun di desa-desa kota Trier. Di dua desa, hanya ada dua wanita saja yang tersisa.

Pembantaian wanita di Eropa itu terjadi pada abad ke-17, jadi 1.000 tahun atau 10 abad setelah Islam menyelesaikan konsepnya tentang wanita dan mengangkat wanita menjadi makhluk terhormat. Sekarang, setelah Barat terjatuh ke dalam kutub ekstrem, mereka sekarang terjatuh ke dalam kutub ekstrem yang lain.

Jika dulu mereka menindas wanita sebuas-buasnya, maka mereka sekarang melepaskan wanita sebebas-bebasnya, sampai nyaris tanpa batas. Mereka memandang, bahwa wanita adalah 'keindahan', dan 'harus dinikmati' oleh masyarakat. Kecantikan harus diumbar, karena budaya mereka bertumpu kepada syahwat. Untuk melampiaskan nafsu-nafsu mereka, dibuatlah kontes-kontes kecantikan, yang menilai segala macam aspek yang disebut 'cantik'. Meskipun sekarang dipoles dengan beberapa bagian tentang 'intelektualitas', namun hakekatnya, dalam kontes-kontes kecantikan, wanita dihargai karena fisiknya. Fisik adalah sesuatu yang 'given'.

Inilah yang sebenarnya menghancurkan peradaban. Manusia diberi penghargaan, bukan karena 'usahanya' tetapi karena hal-hal yang secara alamiah melekat dalam dirinya. Jelas ini bertentangan dengan konsep Islam. Karena itulah, sampai kapan pun, antara peradaban Islam dan peradaban Barat tidak akan pernah bertemu dan akan ada terus yang namanya 'confrontation' antara peradaban Barat dengan peradaban Islam, karena konsep dasar tentang manusia dari kedua peradaban itu memang berbenturan.

Konfrontasi peradaban itu berlangsung dalam hampir semua bidang kehidupan saat ini. Apa yang terjadi dalam kasus kunjungan Miss Universe ke Indonesia adalah bagian dari konfrontasi global itu. Cendekiawan Muslim atau para ulama Islam perlu menyadari akan hal ini, sehingga mereka tidak lengah, karena setiap saat aqidah dan nilai-nilai Islam berada dalam kondisi untuk dihancurkan, diserang dari segala sudut. Dan media massa adalah salah satu alat efektif untuk menyebarkan nilai-nilai Barat itu.

Banyak kalangan seniman, pengasuh media massa, cendekiawan, dan berbagai kalangan penentu kebijakan (policy maker) di Indonesia masih menganut paham "relativitas" atau kenisbian nilai, sehingga batasan pornografi, halal dan haram menjadi kabur dan sangat tergantung kepada persepsi masyarakat.

"Boleh" dan "tidak boleh" menjadi relatif. Sebab, parameter yang digunakan pun tidak jelas, yaitu "perasaan manusia", atau "nafsu manusia". Jika tolok ukurnya adalah "syahwat" maka cara-cara eksploitasi atau kontes kecantikan yang mengumbar aurat akan memeroleh dukungan masyarakat. Itulah yang saat ini terjadi atas masyarakat dan negara yang tidak berpegang kepada ketentuan-ketentuan Allah SWT. Padahal, sesuai ketentuan Allah SWT, halal dan haram sudah jelas. Aurat wanita pun jelas. Mana yang boleh diperlihatkan. Mana yang wajib ditutup.


Sumber: Kumpulan Catatan Akhir Pekan Dr. Adian Husaini dengan editan

2 komentar:

  1. kalo dr adat ktimuran, smua ini pastilah tdk sesuai....tp org indonesia mana mau ketinggalan hal2 yg berbau mendunia meski itu bertolak blkg dg budayanya

    BalasHapus
  2. masih ada kok, malah masih banyak orang Indonesia yang tidak latah dengan budaya Barat :)

    BalasHapus