Kamis, 24 Februari 2011

Melacak Proses Berubahnya Barat-Kristen Menjadi Barat Sekular-Liberal

Sekularisasi merupakan fenomena khas dalam dunia Kristen. Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di Amerika Serikat sesudah berakhirnya Perang Dingin, "Sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan -baik dalam persepsi maupun praktik- untuk memisahkan antara Tuhan dan kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya." Dalam bukunya, Christianity in World History, Arend Theodor van Leeuwen, mencatat, penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, "Kristenisasi dan sekularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal." Maka menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia.

Pandangan Lewis dan Leeuwen merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat, di mana kekristenan telah mengalami tekanan berat, sehingga dipaksa untuk memperkecil atau membatasi wilayah otoritasnya. Gereja dipaksa menjadi sekular, dengan melepaskan otoritasnya dalam dunia politik. Fenomena sekularisasi dan liberalisasi pada peradaban Barat -yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia- sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah yang panjang yang dialami oleh salah satu peradaban besar di dunia ini. Dalam bukunya, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, Owen Chadwick menulis satu bab berjudul "On Liberalism". Kata liberal secara harfiah artinya 'bebas', artinya 'bebas dari berbagai batasan'. "Negara liberal," tulis Chadwick, "haruslah negara sekular."

Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja yang sangat kuat dan hegemonik di zaman Pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal, dengan tokohnya Abraham Geiger. Begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam dunia Kristen. Proses sekularisasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk Islam.

Mengapa Barat kemudian memilih jalan hidup sekular-liberal? Setidaknya, ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang mengapa Barat memilih jalan hidup sekuler dan liberal dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman Pertengahan. Kedua, problema teks Bibel. Dan ketiga, problema teologis Kristen. Ketiga problema itu terkait satu dengan lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern.


PERTAMA, PROBLEM SEJARAH KRISTEN

Sejarah kekristenan, kata Bernard Lewis, banyak diwarnai dengan perpecahan (skisma) dan kekafiran (heresy), dan dengan konflik antar kelompok yang berujung pada peperangan atau penindasan. Sejarah bermula sejak zaman Konstantin Agung, di mana terjadi konflik antara Gereja Konstantinopel, Antioch, dan Alexandria. Lalu, antara Konstantinopel dan Roma; antara Katolik dan Protestan dan antara berbagai sekte dalam Kristen. Setelah konflik-konflik berdarah banyak terjadi, maka muncul kalangan Kristen yang berpikir, bahwa kehidupan toleran antar kelompok masyarakat hanya mungkin dilakukan jika kekuasaan Gereja untuk mengatur politik dihilangkan, begitu juga campur tangan negara terhadap Gereja.

Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut "zaman kegelapan" (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai "zaman Pertengahan" (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 M dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14. Karena itu, mereka menyebut zaman baru dengan istilah "renaissance" yang artinya "rebirth" (lahir kembali). Mereka seperti merasa, bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Sejarah dominasi kekuasaan Gereja bisa ditelusuri sejak awal mula tumbuhnya Kristen sebagai agama negara di zaman Romawi. Besarnya kekuasaan yang dimiliki Gereja melahirkan berbagai penyimpangan. Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan Gereja dan menulis surat kepada Uskup Mandell Creighton. Isinya antara lain: "Semua kekuasaan cenderung korup; dan kekuasaan yang mutlak melakukan korupsi secara mutlak."

Untuk memahami latar belakang penindasan brutal terhadap kaum non-Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap kafir lainnya, yang lantas melahirkan trauma terhadap agama, sangat penting bagi kita untuk menelaah sejarah mengapa dan bagaimana Gereja di zaman Pertengahan membangun kekuatan hegemoniknya. Salah satu fenomena penting dalam sejarah abad Pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen memperoleh dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapatkan peluang kebebasan -setelah beratus tahun mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi- dari Kaisar Konstantin, yang pada tahun 313 M mengeluarkan Edict of Milan. Dengan dikeluarkannya Edict of Theodosius pada tahun 392 M, agama Kristen memegang posisi sebagai agama negara dari Imperium Romawi.

Di akhir masa kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran, institusi Gereja meraih kekuatan dan signifikansinya. Organisasi Gereja tumbuh menjadi lebih kuat dan keanggotaannya semakin meningkat. Ketika itu, agama Kristen merupakan prinsip pemersatu dan Gereja menjadi institusi yang dominan dan sentral. Tidak ada satupun aspek kehidupan di abad Pertengahan yang tidak tersentuh oleh pengaruh Gereja.

Ketika Kekaisaran Romawi runtuh pada tahun 476 M, Gereja tetap mempertahankan sistem administrasi Romawi dan memelihara elemen-elemen peradaban Yunani-Romawi (Greeco-Roman civilization). Sebagai faktor pemersatu, Gereja menyediakan jawaban bagi masyarakat tentang konsep kehidupan dan kematian. Dalam kehidupan sosial yang menuju kehancuran ketika itu, Gereja merupakan satu-satunya institusi yang memberikan alternatif rekonstruksi kehidupan. Karena itu, kemudian pengaruh Gereja meluas begitu cepat di seluruh daratan Eropa, melibas berbagai pengaruh pandangan dan kepercayaan tradisional Eropa. Sepanjang daratan Eropa, dari Italia sampai Irlandia, sebuah masyarakat baru, berpusat pada kekristenan terbentuk. Selama abad Pertengahan, ketika kota-kota mengalami kehancuran, biara-biara menjelma menjadi pusat-pusat kebudayaan, dan tetap bertahan sampai munculnya kembali kota-kota di masa kemudian. Ketika itu, biara-biara juga menyediakan perawatan dan bantuan bagi orang-orang sakit dan miskin serta menyiapkan tempat bagi para pengembara.

Awal-awal abad Pertengahan merupakan periode pembentukan institusi kepausan. Gereja Romawi mulai terorganisasi dengan baik di zaman Paus Gregorius (590-604 M) -yang dikenal sebagai "the Great". Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan masa Pertengahan dan memperkuat kekuasaan kepausan. Gregorius menggunakan metode administrasi Romawi untuk mengorganisasikan kekayaan Gereja di Italia, Sisilia, Sardinia, Gaul, dan wilayah lainnya. Ia memperkuat otoritas kepausan atas uskup dan para pastor lainnya, mengirimkan misionaris ke Inggris untuk menaklukkan Anglo-Saxons, dan melakukan aliansi dengan Perancis. Paus Gregorius juga melakukan aktivitas ekonomi dengan mengimpor gandum untuk memberi makan prajurit Romawi dan mengirimkan pasukan melawan kelompok heretic Lombards. Karena itu, Gregorius I, dari sudut tertentu, dipandang sebagai "penyusun kekuatan politik kepausan". Akhirnya, pada abad ke-8, aliansi antara Paus dan Raja Pippin dari Perancis, berhasil mendirikan "Kerajaan Kepausan" (Papal State) dan mengatur dukungan Paus untuk memberikan legitimasi terhadap keluarga Pippin. Tahun 754 M, Pippin berjanji untuk mengembalikan teritori patrimoni dari St. Peter. Sebagai balasan, Paus Stephen III menjanjikan akan memberikan hukuman pengucilan terhadap raja-raja Perancis yang tidak berasal dari keluarga Pippin. Tahun 800 M, Paus Leo III, membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada anak Pippin, Charlemagne, yang diangkat sebagai "Emperor of the Romans". Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat.

Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja. Contoh yang menarik terjadi pada kasus konflik antara Paus Gregorius VII dan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregorius melarang keterlibatan raja dalam pengangkatan pejabat Gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarki berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan suatu Sidang Umum, dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh kekristenan, dan karena itu ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tentangan itu, Gregorius menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry IV takluk dan dipaksa menemui Gregorius di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektifan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tenpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa.

Kemenangan Gregorius tampaknya meningkatkan moral Gereja dalam menghadapi segala sesuatu yang dipandang sebagai "musuh". Apalagi, sejumlah penguasa Kristen juga berhasil merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya direbut oleh Muslim. Tahun 1091 Count Roger berhasil merebut Sisilia. Pada tahun 1085, Kristen Spanyol dengan bantuan tentara Perancis berhasil mempertahankan Toledo dari serangan Muslim. Paus dan para uskup kemudian lebih jauh melangkah untuk mendorong masyarakat membentuk milisi-milisi bersenjata. Salah satunya adalah Uskup Toul yang kemudian menjadi Paus Leo IX tahun 1049. Dua bulan setelah penobatannya, Paus Leo IX membentuk milisi Romawi untuk memerangi bangsa Norman yang mengancam menyerbu wilayahnya. Pada tahun 1053, ia sendiri yang memimpin pasukannya dalam peperangan. Dua puluh tahun kemudian, Paus Gregorius VII menyerukan semua rakyat Eropa untuk membentuk milisi bersenjata yang dia namakan sebagai "the Knight of St. Peter".

Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai "INQUISISI". Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut:

"Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode Inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka."

Ada sebagian tokoh Gereja yang berusaha melakukan pembelaan dalam soal Inquisisi itu. Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, sikap itu hanya menambah kemunafikan terhadap kejahatan. Yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan itu bukan dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah wakil Kristus (Vicar of Christ). Peter de Rosa mencatat:

"Betapapun, Inquisisi tersebut bukan hanya jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-20, tetapi ini juga jahat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11, saat di mana penyiksaan tidak disahkan dan laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang fair. Ini juga jahat dibandingkan dengan zaman Diocletian, di mana tidak seorangpun disiksa dan dibunuh atas nama Jesus yang tersalib."

Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Perancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakkan biara tersebut.

Henry Charles Lea, seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Inquisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya A History of the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988). Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus Inquisisi, sebagaimana misalnya dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam, yang menyatakan, "Inquisisi adalah satu institusi di mana Gereja tidak memiliki tanggung jawab atasnya."

Ini salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen. Lea menunjuk bukti bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban Inquisisi, otoritas Gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum "heretics" (kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi Gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah bertentangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap Gereja ketika itu menyatakan, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia.

Ketika melakukan berbagai bentuk kekejaman itu, Gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan. Karena itu, kesalahan yang dilakukan Gereja adalah kesalahan pada agama itu sendiri. Ini berbeda dengan Islam, yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (Teokrasi), sebagaimana yang terjadi pada sejarah Kristen. Para pemimpin Gereja diakui haknya untuk mengampuni dosa manusia, di dalam Islam tak ada seorangpun berhak memberikan ampunan terhadap dosa orang lain.

Karena itu, tidaklah tepat jika konsep politik dalam Islam yang diterapkan selama ratusan tahun yakni konsep khilafah, disebut dengan istilah dalam tradisi Kristen, yaitu "theokrasi". Abul A'la Maududi malah menyebut Teokrasi sebagai pemerintahan setan. Padahal, ketika memegang hegemoni kekuasaan yang begitu besar, justru ketika itulah terjadi berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang akhirnya menimbulkan pemberontakan dari dalam tubuh Gereja sendiri. Mereka menyebutnya dengan istilah "reformasi".

Salah satu yang mendorong Martin Luther melakukan pemberontakan terhadap Paus adalah praktik jual beli surat pengampunan dosa. Pada tanggal 31 Oktober 1517, Martin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five These) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan "pengampunan dosa" (indulgences) oleh pemuka Gereja. Pada 95 these-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasi akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus.

Berbagai penyelewengan penguasa agama dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep "infallible" (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyahkan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua bagian besar, Katolik dan Protestan. Beratus tahun kedua agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian. Kisah perebutan tahta di Inggris menarik untuk disimak, bagaimana Raja Henry VIII (1491-1547) memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gereja sendiri, hanya karena Paus menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya terdahulu, Catharine of Aragon. Tahta Inggris akhirnya jatuh ke tangan Protestan (Anglikan) setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai Ratu Inggris menggantikan Queen Mary yang Katolik. Sebuah film berjudul Elizabeth yang dibintangi oleh Cate Blanchett menggambarkan perebutan tahta Inggris antara Katolik dan Protestan yang diwarnai dengan berbagai tindakan kejam yang di luar batas perikemanusiaan, baik yang dilakukan tokoh-tokoh Katolik maupun tokoh Protestan.

Di Perancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan -terutama Calvinists- di Paris, oleh kaum Katolik tahun 1572 yang dikenal sebagai "The St. Bartholomew's Day Massacre". Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak yang membusuk.

Perancis juga dikenal dengan Revolusinya (1789) yang dahsyat yang mengusung jargon "Liberty, Egality, Fraternity". Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis.

Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti-pemuka agama yang dikenal dengan istilah "anti-clericalism" di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu: "Berhati-hatilah, jika anda berada di depan seorang wanita, berhati-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta."

Trauma inilah yang kemudian melahirkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi "politisasi agama"; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan. Bukti-bukti penyimpangan kekuasaan politik oleh para penguasa agama di Eropa dengan mudah ditemukan. Pada tahap selanjutnya, mereka terus mencari dalil-dalil dan alasan teologis untuk memperkuat argumentasi sekulerisasi, khususnya ditemukan pada ayat-ayat tertentu pada Bibel. Menghadapi serangan yang sangat kuat tersebut pihak Kristen akhirnya menyerah dan menerima proses sekularisasi sebagai bagian dari kenyataan. Bahkan, banyak yang berargumen bahwa sekularisasi adalah bagian dari ajaran Kristen itu sendiri.

Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata "religion" maka yang teringat dalam benak mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan Inquisisi dan sejarah penindasan atas para ilmuwan. Seorang psikolog Barat, Scott Peck, menyatakan,

"Sekali kata 'religion' disebutkan di dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang: ...Inquisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan. Apakah semua ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap Tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya kepada Tuhan sering menjadi dogma yang menghancurkan."

Persepsi tentang agama Kristen semacam itulah yang kemudian membentuk persepsi kolektif tentang perlunya dilakukan "sekularisasi" dalam kehidupan masyarakat. Agama (dalam hal ini institusi Gereja) harus dipisahkan dari wilayah politik, karena kekuasaan Gereja yang absolut sudah terbukti menyelewengkan dan memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan pemuka agama.

Ada kalanya, Gereja mencoba menyatukan masyarakat Kristen dengan menempatkan sesuatu sebagai "common enemy", sebagaimana yang terjadi dalam Crusade, ketika Paus Urban II menggambarkan Muslim sebagai musuh Kristen. Institusi Inquisisi juga dibentuk dalam kerangka membasmi musuh-musuh Gereja. Apa yang dilakukan Gereja di zaman Pertengahan dalam menghimpun dan mengonsentrasikan kekuasaan dapatlah dikatakan sebagai suatu bentuk pemeliharaan hegemoni.

Dalam masalah keilmuan, waktu itu Gereja meyakini bahwa bumi adalah pusat tata surya. Sampai pada abad ke-17 Gereja dan juga Inquisitor General-nya, secara terbuka menganut keyakinan, seluruh alam semesta bergerak mengelilingi Mahkota Paus yang berada di Bumi. Robert N. Bellah mencatat bahwa, "Paus di awal abad Pertengahan, hampir mengklaim dirinya sebagai ketua negara super internasional, dimana semua penguasa politik sekuler harus tunduk padanya." Di abad-abad Pertengahan, Gereja memang merupakan kekuatan dominan dalam politik. Di samping memegang kekuatan agama, Gereja juga mengendalikan kekuatan besar dalam ekonomi. Di abad ke-10, Gereja merupakan pemilik lahan terbesar di Eropa Barat. Ketika itu Gereja memiliki hampir sepertiga wilayah Itali dan sejumlah besar kekayaan di wilayah lain.


KEDUA, PROBLEM TEKS BIBEL

Problem ini berkaitan dengan otentisitas teks Bibel dan makna yang terkandung di dalamnya. Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara Al-Qur'an dengan Bibel, dengan menyatakan, bahwa semuanya adalah Kitab Suci, dan semuanya mukjizat. Padahal, kalangan ilmuwan Barat yang jeli, bisa membedakan antara kedua kitab agama itu. Teks Al-Qur'an tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bibel. Norman Daniel, dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: "Al-Qur'an tidak ada bandingannya dengan apapun di luar Islam."

Hebrew Bible (Kristen menyebutnya Perjanjian Lama), misalnya, hingga kini masih merupakan misteri. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis kitab ini masih merupakan misteri. Ia menulis, "Adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tak pernah tahu secara pasti siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita." Ia mencontohkan, The Book of Torah atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of Lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separuh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorangpun tahu bagaimana perujukan penulis itu memang benar adanya. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia. Tidak satu ayatpun dalam Torah yang menyebutkan bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teksnya dijumpai banyak kontradiksi.

Perjanjian Baru (New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Satu bukunya berjudul "The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration" (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain, yang berjudul "A Textual Commentary on the Greek New Testament" (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bibel, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bibel yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya.

Bahasa Yunani (Greek) adalah bahasa asal The New Testament. Melalui bukunya ini, Metzger menunjukkan rumitnya problema kanonifikasi teks Bibel dalam bahasa Yunani. Banyaknya ragam teks dan manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindarkan. Hingga kini, ada sekitar 5.000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Yunani yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Yunani terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus (ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Yunani di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Yunani yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bibel untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Yunani.

Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, "Limitation of Latin in Representing Greek". Dalam bukunya itu Fischer dikutip Metzger menulis, "Meskipun bahasa Latin secara umum sangat cocok untuk digunakan menerjemahkan dari bahasa Yunani, tetap saja ada bagian-bagian yang tak bisa diekspresikan dalam bahasa Latin."

Tahun 1519, terbit edisi kedua teks Bibel dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan olen Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bibel bahasa Yunani yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bibel dalam bahasa Yunani. Dalam edisi Yunani ini dikenal istilah "Textus Receptus" yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Prof. Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament.

Jelas, fakta semacam itu tidak terpikir kaum Muslimin terhadap Al-Qur'an hingga kini. Apalagi kaum Muslim juga tidak mengalami problema bahasa Al-Qur'an. Mereka masih membaca Al-Qur'an dalam bahasa Arab dan beribadah dalam bahasa Arab, sesuatu yang tidak dapat dinikmati oleh kaum Kristiani pada umumnya. Misalnya, kaum Kristen di Sumatera Utara tidak bernyanyi puji-pujian dengan bahasa Yunani, bahasa asli Perjanjian Lama. Bagaimanapun telitinya, satu terjemahan pasti tidak akan mampu mengekspresikan bahasa asalnya dengan tepat. Apalagi, jika terjemahan itu sudah dilakukan ke berbagai bahasa. Ambil satu contoh ayat dalam Bibel, Kitab I Raja-Raja 11:1 dalam sejumlah versi Bibel ditulis sebagai berikut.

  • Versi LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) terbitan tahun 2000 ditulis: "Adapun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Di samping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het."
  • Dalam The Living Bible ditulis: "King Salomon married any other girls besides the Egyptian princess. Many of them came from nations where idols were worshipped -Moab, Ammon, Edom, Sidon, and from the Hittites."
  • Sedangkan Bible King James Version menulis: "But King Solomon loved many strange women, together with the daughter of Paharaoh, women of Moabites, Ammonites, Edomites, Zidonians, and Hittites."
  • Lain pula yang ada dalam versi The Bible Revised Standard Version: "Now King Solomon loved many foreign women; the daughter of Pharaoh, and Moabites, Ammonite, E'domite, Sido'niah, and Hittite women."
  • Dalam edisi Latin 'Vulgate', ditulis: "rex autem Salomon amavit mulieres alienigenas multas filiam quoque Pharaonis et Moabitidas et Ammanitidas Idumeas et Sidonias et Chettheas."

Perhatikan, bagaimana sejumlah versi Bibel menggunakan kata "mencintai" (loved/amavit), sedangkan The Living Bible menggunakan kata "married". Faktanya, Salomon memang mengawini wanita-wanita asing itu. Kejahatan Salomon versi Bibel digambarkan dalam Kitab 1 Raja-Raja 11:1-9, digambarkan perilaku Salomo yang tidak patut dilakukan oleh seorang nabi utusan Allah -dalam konsep Islam. Bagian dalam Bibel ini diberi judul "Salomo Jatuh ke dalam Penyembahan Berhala".

"(1) Adapun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Di samping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het. (2) Padahal tentang bangsa-bangsa itu Tuhan telah berfirman kepada orang Israel: "Janganlah kamu bergaul dengan mereka dan merekapun janganlah bergaul dengan kamu, sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka. Hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta. (3) Ia mempunyai tujuh ratus istri dan tiga ratus gundik; istri-istrinya itu menarik hatinya dari pada Tuhan. (4) Sebab pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Tuhan, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. (5) Demikianlah, Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon, (6) dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya. (7) Pada waktu itu Salomo mendirikan bukit pengorbanan bagi Kamos, dewa kejijikan sembahan orang Moab, di gunung di sebelah Timur Yerusalem dan bagi Molokh, dewa kejijikan sembahan bani Amon. (8) Demikian juga dilakukannya bagi semua istrinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka. (9) Sebab itu Tuhan menunjukkan murkanya kepada Salomo, sebab hatinya telah menyimpang dari pada Tuhan, Allah Israel, yang telah dua kali menampakkan diri kepadanya."

Fakta semacam ini tentu tidak mudah dipahami, sebab dalam konsepsi Bibel, penyembah berhala harus dijatuhi hukuman mati. Dalam Alkitab terbitan LAI, Kitab Ulangan 17:2-7 diletakkan di bawah judul "Hukuman Mati untuk Penyembah Berhala".

(2) Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya, (3) dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari, atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu; (4) dan apabila hal itu diberitahukan atas terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan di antara orang Israel, (5) maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu keluar ke pintu gerang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kau lempari dengan batu sampai mati. (6) Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati. (7) Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu."


KETIGA, PROBLEM TEOLOGI KRISTEN

Dr. C. Groenen Ofm, seorang teolog Belanda, mencatat, "Seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem." Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di Barat. "Kesimpangsiuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia Barat," tulis Groenen. Setelah membahas puluhan konsep para teolog besar di era Barat modern, Groenen memang akhirnya "menyerah" dan "lelah", lalu sampai pada kesimpulan klasik bahwa konsep Kristen tentang Yesus memang "misterius" dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.

Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi banyak persoalan serius dalam perdebatan teologis. Di zaman Pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman Pertengahan tidak digunakan untuk mengritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk menglarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal dan teks Bibel. Sikap para ilmuwan dan pemikir abad Pertengahan digambarkan:

"Mereka tidak menolak berbagai keyakinan Kristen yang berada di luar jangkauan akal manusia dan karenanya tidak dapat ditelaah dengan argumen rasional. Sebaliknya, mereka tetap meyakini berbagai keyakinan semacam itu yang terdapat di ayat-ayat dan menerimanya dengan iman. Bagi para pemikir di zaman Pertengahan, akal tidak memiliki keberadaan yang independen tapi pada akhirnya harus mengakui standar kebenaran yang bersifat suprarasional dan di luar jangkauan manusia. Mereka ingin agar pemikiran logis diarahkan oleh batasan-batasan Kristen dan dituntun oleh otoritas skriptural dan keagamaan."

Problema yang kemudian muncul ialah ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bibel dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problem itu sendiri. Di samping menghadapi problem otentisitas, Bibel juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengetahuan, seperti Galileo Galilei (1546-1642), dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup.

Jika para ilmuwan dipaksa tunduk kepada doktrin teologis yang mereka sendiri sulit memahaminya, tentu muncul benturan pemikiran. Padahal, konsepsi teologis Kristen -terutama fakta dan posisi ketuhanan Yesus- telah menjadi ajang perdebatan ramai di kalangan Kristen sepanjang sejarahnya. Kelompok-kelompok yang tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai heretics dan banyak di antaranya yang diburu dan dibasmi. Contohnya adalah, satu kelompok yang bernama Cathary yang hidup di Selatan Perancis. Kelompok Cathary adalah penganut Catharism, satu kelompok heresy radikal di zaman Pertengahan. Cathary percaya karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak mungkin menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Yesus bukanlah Tuhan, tapi Malaikat. Untuk memperhambakan manusia, tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan "sihirnya" dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disadarkan dengan persuasif, Paus Innocent III menyerukan kepada raja-raja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai.

Doktrin teologi Kristen tidaklah tersusun di masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 M dalam Konsili Nicea. Adalah Kaisar Konstantin yang memelopori Konsili Nicea, yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian orthodoxy. Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy. Dalam konsili ini, aspek-aspek ketuhanan Yesus diputuskan melalui pemungutan suara (voting). Buku The Messianic Legacy, yang ditulis tiga orang pemikir Kristen, Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, mencatat, bahwa Kristen memang berutang pada Konstantin, tetapi tidak dapat dikatakan Konstantin sebagai seorang Kristen atau mengkristenkan Romawi. Cerita tentang 'konversi' Konstantin diperdebatkan. Ia tetaplah penganut paganisme. Tuhannya adalah Sol Invictus, Dewa Matahari kaum pagan. Paganisme juga menjadi agama resmi Romawi ketika itu. Buku ini menyebut pengaruh paganisme Konstantin terhadap Kristen. Tahun 321 M, keluar Edict yang menetapkan hari Minggu sebagai hari istirahat, Padahal sebelumnya, Kristen tetap menghormati hari Sabtu. Sampai abad ke-4, hari kelahiran Yesus diperingati pada 6 Januari. Tapi pada tradisi penyembahan Sol Invictus, hari terpenting adalah 25 Desember.

The Interpreter's Dictionary of the Bible menjelaskan bahwa istilah 'trinitas' merujuk pada pengertian: the coexistence of Father, Son, and Holy Spirit in the Unity of the Godhead. Istilah ini bukan merupakan istilah Biblical, tapi mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian Baru. Dalam Matius 3:17 disebutkan: "Maka suatu suara dari langit mengatakan, 'Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya Aku berkenan.'" Juga, Lukas 4:41 menyebutkan bahwa Yesus itu adalah Anak Allah. Konsep Trinitas memang tidak mungkin dipahami dengan akal. Tokoh pemikir Kristen abad ke-13, Thomas Aquinas mengungkapkan dengan kata-kata, "Bahwa Tuhan adalah tiga dan satu hanya bisa dipahami dengan keyakinan, dan tidaklah mungkin hal ini bisa dibuktikan secara demonstratif dengan akal."

Sejak Konsili Nicea, problem serius dan kontroversialnya memang masalah "ketuhanan Yesus". Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat bahwa Yesus adalah 'Tuhan' dan sekaligus 'manusia'. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai "Syahadat Nicea", secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280 M. Arius -didukung sejemlah uskup- menyebarkan pemahaman bahwa Yesus bukanlah Tuhan yang tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah "Firman Allah" yang secara metafor boleh disebut "Anak Allah" bukanlah Tuhan, tetapi mahluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi. "Syahadat Nicea" menyatakan,

"Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah Benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada...."

Soal "Syahadat Katolik" juga menjadi perbincangan dan kontroversi hebat dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus tahun 431 M melarang perubahan apapun pada "Syahadat Nicea", dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Chalsedon tahun 451 M mengubah "Syahadat Nicea". Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Chalsedon berasal dari konsili lokal di Konstantinopel tahun 381 M. Sebab, naskah edisi tahun 325 M dianggap sudah tidak memadai untuk berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 M adalah penyempurnaan naskah tahun 325 M, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut "Syahadat dari Nicea dan Konstantinopel" disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga sekarang masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589 M, Gereja Barat melakukan tambahan frasa "dan Putra", pada penggal kalimat "dan akan Roh Kudus ...yang berasal dari Bapa". Penambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun Gereja Timur menolak karena menurut mereka penambahan tersebut melanggar Konsili Efesus. Penambahan itu kemudian menjadi penyebab utama terjadinya skisma -perpecahan- antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad ke-11. Konsili Vatican II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat N-C dengan mengganti kata pembuka "Aku percaya" menjadi "Kami percaya".


THE PASSION OF THE CHRIST

Hingga 2004, perdebatan seputar konsep teologi yang berpangkal pada konsep "ketuhanan" Yesus masih bisa disimak. Maraknya kontroversi terhadap film garapan Mel Gibson berjudul The Passion of the Christ pada awal 2004, menunjukkan bagaimana konsep seputar masalah teologi Kristen ini masih menjadi kontroversi hebat. Dalam teologi Kristen, peristiwa "penyaliban" (crucifixion) menjadi faktor mendasar, namun perdebatan seputar "siapa yang membunuh Yesus" masih berlangsung hebat. Film Gibson mendasarkan pada teks Bibel, Yahudi-lah yang harus bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Yesus. Vatikan sendiri membela film Gibson dan menyatakan film itu sudah sesuai dengan Perjanjian Baru. Namun, Newsweek edisi 16 Februari 2004 menulis bahwa justru Bibel itu sendiri yang boleh jadi merupakan sumber cerita yang problematis. Jika Paus menyatakan film itu sesuai dengan apa adanya, sebagaimana paparan dalam Bibel, justru dalam film itu ditemukan berbagai penyimpangan dari cerita versi Bibel.

Namun, kontroversi seputar penyaliban Yesus itu memang terus berlangsung. John Dominic Crossan, profesor dalam Biblical Studies di DePaul University Chicago, menulis sebuah buku berjudul Who Killed Jesus? yang isinya membuktikan bahwa pemahaman tradisional terhadap terbunuhnya Yesus, yang digambarkan sebagai perbuatan kaum Yahudi sebagaimana dipaparkan dalam Perjanjian Baru bukan hanya salah tetapi juga berbahaya. Ia juga mempertanyakan berbagai teologis yang mendasar, seperti "benarkah Yesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia?" Juga, "apakah keimanan kita sia-sia jika tidak ada kebangkitan tubuh Yesus?"

"Penyaliban" dan "Kebangkitan" adalah doktrin pokok dalam teologi Kristen. Namun justru di sinilah terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen. John Dominic Crossan menulis, bahwa cerita tentang kubur Yesus yang kosong adalah "satu cerita tentang Kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri." Cerita tentang Yesus, seperti tertera dalam Bibel, menurut Crossan, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus. Itulah yang dibuktikan oleh Crossan melalui bukunya tersebut.

Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh aspek moralitas Yesus sendiri dalam aspek seksual. Martin Luther sendiri dilaporkan menyebutkan, bahwa Yesus berzina sebanyak tiga kali. Arnold Lunn, dalam bukunya, The Revolt Against Reason, (London: Eyre & Spottiswoode, 1950), hlm. 233, mencatat: "Weimer mengutip sebuah paragraf dari the Table-Talk, di mana Luther menyatakan bahwa Yesus Kristus berzina sebanyak tiga kali, pertama dengan seorang wanita di sumur, kedua dengan Maria Magdalena, dan ketiga dengan wanita pezina yang dilepasnya begitu saja. Jadi, bahkan Yesus Kristus yang begitu suci harus melakukan zina sebelum ia mati."

Bahkan, The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford tahun 1967:

"Para wanita adalah teman-temannya, namun yang dicintainya adalah para laki-laki. Fakta yang mengejutkan adalah ia tidak menikah, dan laki-laki yang tidak menikah biasanya punya salah satu dari tiga alasan: mereka tidak mampu melakukannya, tidak ada perempuan, atau mereka pada dasarnya homoseks."

Perdebatan seputar Yesus memang tidak berkesudahan. Padahal, di atas landasan 'Ketuhanan Yesus' inilah teologi Kristen ditegakkan. Pada awal-awal kekristenan, mereka ingin menonjolkan aspek ketuhanan Yesus. Tetapi, teolog-teolog modern kemudian ingin menonjolkan aspek kemanusiaan Yesus, mendekati gagasan Arius yang dulu dikutuk Gereja. Menyimak perdebatan tentang Yesus yang tiada henti itu, maka teolog Kristen seperti Groenen membuat teori "pokoknya", bahwa meskipun pemikiran kaum Kristen tentang Yesus Kristus berbeda-beda, tetapi Yesus tetap tidak berubah. "Yesus yang satu dan sama sejak awal diwartakan dan -menurut keyakinan Kristen harus diwartakan- "sampai ke ujung bumi" (Kis 1:8) dan "sampai ke akhir zaman" (Matius 28:20) kepada "segala mahluk" (Markus 16:15)." Menurut Groenen, iman memang membutuhkan pemahaman, tetapi iman mesti mendahului pemahaman dan selalu melampaui pemahaman. Teologi, kristologi, hanyalah sarana. Kristologi tidak membicarakan Yesus Kristus itu sendiri, tetapi pikiran orang tentang Yesus.

Memang, persoalannya bukan pada diri Yesus -yang memang hakikatnya tidak tergantung pada pemahaman manusia. Tetapi, yang jadi masalah bagi manusia adalah bagaimana memahami Yesus. Benarkah atau salahkah pemahamannya. Tuhan sendiri pada hakikatnya adalah Tuhan. Tidak berubah hakikat-Nya, apapun pemahaman manusia tentang Dia. Tetapi, bagaimana manusia memahami Tuhan, di situlah masalahnya. Jika pemahamannya salah, maka diapun menjadi salah, baik dalam pemikiran maupun tindakan.

Argumentasi Groenen semacam ini tentu sulit dipahami oleh kalangan teolog yang sejak dahulu kala berusaha merumuskan pemahaman tentang Yesus, namun tidak pernah mencapai titik temu. Kepelikan itu bisa dipahami, mengingat Yesus sendiri tidak pernah menyatakan bahwa dia adalah Tuhan. Paul Young mencatat bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru menekankan hakikat kemanusiaan Yesus. Ia lapar, haus, dan lelah, sebagaimana manusia lainnya. Ia juga punya emosi, bisa sedih dan senang. Tetapi, beratus tahun kemudian, Yesus dirumuskan dan disembah sebagai Tuhan. "Yesus ini, seorang manusia asli, menjadi fokus peribadatan Kristen. Bentuk peribadatan yang sangat berbeda dengan agama-agama besar dunia yang lain," tulis Young. Tentang kepelikan seputar "misteri Yesus", Mark Twain membuat sindiran: "Bukan bagian-bagian Bibel yang tak bisa kupahami yang membuatku resah, melainkan justru bagian-bagian Bibel yang bisa kupahami."

Problem teologi Kristen, problem teks Bibel, dan juga pengalaman Barat terhadap hegemoni Gereja selama ratusan tahun telah membentuk sikap traumatis mereka terhadap agama. Dari sinilah muncul paham sekularisasi -yang meskipun tidak membunuh agama, tetapi menempatkan agama pada pojok kehidupan yang sempit. Agama ditempatkan dalam wilayah personal dan membatasi wilayah kekuasaan mereka. Tak hanya itu, mereka juga melakukan proses liberalisasi dan dekonstruksi besar-besaran terhadap berbagai doktrin Kristen. Dalam bidang sosial-politik mereka lahirkan konsep sekularisme yang menemukan aplikasi penting pasca Revolusi Perancis pada tahun 1789. Dalam bidang teologi, mereka mengembangkan konsep teologi inklusif dan pluralis yang menolak klaim Kristen sebagai satu-satunya agama yang benar. Dalam bidang organisasi keagamaan, mereka menghantam konsep "formal religion" dan mengembangkan konsep agama sebagai aktivitas. Dalam bidang kajian Kitab Suci, mereka mengembangkan 'hermeneutika' yang mendekonstruksi konsep Bibel sebagai "The Word of God" dan mengembangkan metode historical criticism terhadap Bibel.

Melalui dominasi dan hegemoninya, Barat berusaha mengglobalkan konsep-konsep keilmuan dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pemikiran Islam. Proses liberalisasi dan sekularisasi di berbagai bidang yang terjadi di dunia Islam tidak lain adalah bagian dari globalisasi yang berangkat dari pengalaman dan realita Barat dengan berbagai unsur yang membentuknya, seperti tradisi Judeo-Christian, tradisi Yunani, dan unsur-unsur suku bangsa Eropa. Sebagai satu peradaban besar yang masih eksis hingga kini, Islam memiliki banyak perbedaan fundamental dengan peradaban Barat.

Jika perbedaan konsepsi dan sejarah antara teologi Kristen dengan Islam, benar-benar dikaji secara cermat, seyogianya tidak perlu ada kalangan Muslim yang latah menyebarkan paham sekularisme, pluralisme agama, metode kajian Bibel untuk Al-Qur'an dan sebagainya. Penjiplakan yang membabi buta terhadap tradisi Kristen-Yahudi -hanya karena terpesona oleh kemajuan fisik peradaban Barat- bisa dikatakan sama dengan upaya bunuh diri (masuk ke lubang biawak) bagi Islam. Jika peradaban Barat kemudian mengembangkan dan memaksakan paham destruktif terhadap agama ini agar dianut oleh pemeluk agama-agama yang lain, dapatlah dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang "emoh agama" atau "anti-agama". Muhammad Asad (Leopold Weiss) mencatat, peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi kuno. Konsep "keadilan" bagi Romawi adalah "keadilan" bagi orang-orang Romawi saja. Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsep hidup yang hanya berkiblat pada materialistik. Asad menilai, sumbangan agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban Barat itu sendiri sebenarnya 'irreligious'. Ia menulis, "...jadi karakteristik peradaban Barat modern, tidak bisa diterima baik oleh Kristen maupun oleh Islam atau oleh agama lainnya, karena inti sejati peradaban itu bersifat kosong-agama."

Karena itu, sungguh sulit dipahami dengan akal sehat, jika banyak cendekiawan Muslim yang latah dan ikut-ikutan perilaku Barat dalam "membunuh agama" mereka. Jika mereka "masuk ke lubang biawak", mengapa kaum Muslim harus mengikuti mereka?


Sumber: Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal dengan editan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar