Kamis, 10 Februari 2011

Penyesatan Opini

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti (tabayyun) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. al-Hujuraat: 6)

Panduan Allah SWT bagi kaum Muslim dalam menyikapi suatu informasi (berita) begitu tegas: telitilah berita yang dibawa atau disiarkan oleh orang-orang fasik. Dalam dunia jurnalistik, penelitian suatu keabsahan berita dikenal dengan istilah check and recheck. Artinya, jangan mudah percaya begitu saja kepada suatu berita, kabar, opini, atau informasi yang disebarkan oleh orang-orang fasik. Surah al-Hujuraat ayat 6 itu begitu menekankan pada aspek "sumber berita" yang diberi sifat "fasik". Dalam menangkap suatu informasi, kaum Muslim diperintahkan memperhatikan kredibilitas sumber berita, terutama yang masuk kategori fasik.

SIAPAKAH ORANG YANG DISEBUT FASIK?

Kata fasik (fasiq) berasal dari kata dasar al-fisq yang berarti 'keluar' (khuruj). Para ulama mendefinisikan fasik sebagai "orang yang durhaka kepada Allah SWT karena meninggalkan perintah-Nya atau melanggar ketentuan-Nya". Orang fasik adalah orang yang melakukan dosa besar atau banyak/sering melakukan dosa kecil. Memang tidak begitu mudah menentukan batasan yang tegas apakah seseorang masuk kategori fasik. Di dalam Al-Qur'an, kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Terkadang, kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan kedurhakaan (al-Hujuraat: 7) dan terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan (al-Baqarah: 197).

Di lapangan hukum Islam, kata fasik diperhadapkan dengan kata adil. Menurut jumhur ulama, adil adalah sifat tambahan dan tidak identik dengan Islam itu sendiri. Maksudnya, orang yang tidak adil (fasik) tidak langsung dikeluarkan dari Islam. Kategori fasik bisa terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil, tetapi kategori kafir hanya mungkin terjadi akibat dosa besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap kafir pasti fasik, tetapi belum tentu setiap fasik adalah kafir.

Banyak sekali uraian para ulama yang menyatakan bahwa orang fasik terlarang memegang suatu jabatan atau amanah yang berhubungan dengan "kepercayaan". Namun, bagaimana jika seorang fasik menjadi wartawan atau penyampai berita kepada publik? Mengingat wartawan adalah profesi yang sangat membutuhkan kejujuran, posisi ini memang rawan bagi seorang fasik. Sebagai pencari dan penyusun fakta-fakta untuk diolah menjadi suatu berita, wartawan berpeluang besar untuk melakukan tindak ketidakjujuran, ketidakakuratan, atau bahkan manipulasi dan penipuan dalam penyajian berita kepada masyarakat.

BELAJAR DARI HADITS

Konsepsi Islam tampaknya menempatkan identifikasi "kefasikan" dan "keadilan" sebagai hal penting. Al-Mawardi meriwayatkan sebuah hadits Nabi saw., "Umumkanlah orang fasik dengan kondisi yang ada padanya agar masyarakat mewaspadainya."

Para ulama ahli hadits telah melakukan suatu penelitian dan penilaian terhadap sifat-sifat perawi hadits. Karena posisi mereka begitu penting, yakni sebagai pembawa berita dari Rasulullah saw., sifat-sifat dan ciri-ciri mereka diumumkan kepada masyarakat. Perawi yang digelari sebagai "pendusta" tidak dapat dipercaya lagi berita-berita yang bersumber darinya.

Hadits adalah ucapan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan dengan diam) Nabi Muhammad saw.. Berbeda dengan Al-Qur'an yang tercatat dengan rapi sejak wahyu itu diturunkan, hadits-hadits Nabi tidak dicatat. Karenanya, sepeninggal Nabi saw., beredarlah berita-berita atau cerita-cerita yang kadang dikatakan berasal dari Nabi saw.. Setelah itu, muncullah para pakar hadits yang meneliti dan menyeleksi dengan ketat, mana berita yang benar-benar bersumber dari Nabi saw. dan mana saja berita yang diragukan atau bahkan merupakan hadits palsu yang dikarang-karang oleh orang.

Para ahli hadits tidak sembarang dalam menerima setiap sanad (isnad) yang disebutkan orang, tetapi mereka menyeleksi setiap perawi yang ada dalam sanad dengan ketat. Para perawi hadits itu diteliti kecerdasannya, akhlaknya, guru-gurunya, dan juga murid-muridnya. Jika tidak jelas, hadits yang bersumber dari perawi tersebut ditolak. Para perawi hadits disyaratkan harus jujur, kuat hafalan (dhabit), adil, dan disiplin.

Berdasarkan seleksi para pakar hadits itulah, mereka kemudian membuat kategorisasi hadits dan membaginya ke dalam tiga kelompok: (1) hadits mutawatir, yakni hadits yang diriwayatkan banyak sahabat, banyak tabi'in, dan seterusnya, yang dipastikan mereka tidak mungkin bersepakat berbohong, sehingga hadits ini dipastikan berasal dari Nabi saw., (2) hadits masyhur, yakni hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang sahabat, tetapi tidak sampai mencapai derajat mutawatir, (3) hadits ahad, yakni hadits yang seluruh perawinya, mulai generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in, tidak mencapai derajat mutawatir.

Hadits ahad itu dikelompokkan lagi menjadi tiga: (1) hadits sahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil (tidak fasik), sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai Nabi saw., tidak memiliki cacat, dan tidak bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya, (2) hadits hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai Nabi saw., tidak memiliki cacat, dan tidak bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya. Jadi, bedanya dengan hadits sahih hanya dalam soal ketelitian perawi, (3) hadits dha'if, yakni hadits yang tidak menemui syarat sahih maupun hasan. Banyak jenis hadits dha'if, yaitu hadits maudhu' (palsu), mursal, munqathi', mu'allaq, mudallas, mudraj, munkar, dan mubham.

Sejalan dengan makna surah Al-Hujuraat ayat 6, mekanisme penyeleksian hadits juga sangat bertumpu kepada kredibilitas sumber berita (perawi). Untuk mendapatkan kualitas kebenaran berita, para pakar hadits itu telah menetapkan syarat-syarat yang ketat bagi perawi. Syarat-syarat itu bukan hanya berkaitan dengan aspek "profesionalitas", seperti ketelitian dan kecerdasan, tetapi juga berkaitan dengan aspek moralitas pribadi (adil). Seorang perawi fasik (pendusta atau tak malu melakukan dosa di depan umum) langsung dinyatakan tertolak beritanya. Setidaknya, berita yang dibawanya berkategori dha'if.

FAKTA SEMU

Bagaimana jika mekanisme penyelesaian hadits Nabi saw. yang begitu ketat itu diterapkan dalam dunia jurnalistik kontemporer saat ini? Berapa banyak wartawan dan awak pers yang lolos seleksi "rawi" (cerdas, jujur, tidak fasik) sehingga dinyatakan layak untuk dipercaya sebagai pembawa dan penyampai berita? Berapa banyak koran/majalah yang dapat dinyatakan "absah" sebagai sumber informasi sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan kebenaran?

Secara prinsip, seluruh personel yang terlibat dalam proses jurnalistik (pengumpulan, pengolahan, dan penyiaran berita) seharusnya merupakan orang-orang yang memenuhi syarat. Kode Etik Jurnalistik yang disusun PWI memang menempatkan faktor "kejujuran" sebagai faktor penting. Meskipun tidak seketat kriteria dalam penyeleksian hadits, dunia jurnalistik pada umumnya mengutuk ketidakjujuran dan sangat menekankan kecermatan/keakuratan dalam proses jurnalistik.

Masalahnya, ada perbedaan yang cukup mendasar antara hadits dan berita atau opini yang disiarkan oleh suatu institusi media massa. Para perawi hadits menyiarkan berita (hadits) yang didengarnya apa adanya tanpa melalui proses "rekayasa" apa pun. Ini sangat berbeda dengan proses penyiaran berita/opini dalam dunia jurnalistik. Suatu berita yang disajikan oleh suatu institusi media massa (surat kabar, majalah, tabloid, radio, atau televisi) bukanlah fakta yang sebenarnya, tetapi merupakan "fakta semu" yang telah direkayasa oleh institusi penyiar berita tersebut.

Di dalam percaturan opini publik, masalah pokoknya adalah bahwa masyarakat menerima fakta bukan sebagaimana adanya, tetapi apa yang mereka anggap sebagai fakta. Jadi, ada kesenjangan antara fakta sebenarnya dan "apa yang dianggap sebagai fakta" yang oleh Lippmann disebut sebagai "kenyataan fatamorgana" atau "lingkungan palsu".

Secara dinamis, proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut. (1) Fakta sebenarnya (misalnya: peristiwa unjuk rasa, Sidang Umum MPR, pidato presiden, penggusuran tanah, dan sebagainya) diolah oleh suatu institusi media massa melalui proses reporting, editing, dan publishing; (2) hasil olahan (rekayasa) institusi media massa (yang disebut sebagai "fakta semu") itulah yang ditangkap oleh publik. Jadi, publik tidak menerima fakta sebenarnya; (3) publik yang menangkap "fakta semu" dapat menjadi institusi baru yang berfungsi sebagai penyebar "fakta semu yang baru" yang beredar dari "fakta semu" sebelumnya; (4) begitu seterusnya.

fakta sebenarnya --> insitusi media massa --> fakta semu 1 --> publik --> fakta semu 2 --> publik --> fakta semu 3 --> dan seterusnya.

"Fakta semu" atau "kenyataan fatamorgana" itulah yang dianggap oleh publik sebagai fakta. Publik tidak mungkin atau sangat sulit untuk melihat langsung seluruh "fakta" yang disajikan oleh media massa, padahal "fakta semu" adalah hasil rekayasa media massa yang telah mengalami proses reporting, editing, dan publishing. Pada setiap tingkatan proses tersebut, setiap berita ("fakta semu") telah diseleksi oleh personil pers.

Dalam proses reporting, seorang reporter telah melakukan seleksi terhadap fakta yang diperolehnya. Reporter TV, misalnya, harus memilih dan memotong acara yang berlangsung selama berjam-jam untuk kemudian disajikan dalam bentuk berita TV yang durasinya hanya sekitar 15 atau 30 detik. Reporter media cetak juga menyeleksi dan memotong ucapan-ucapan atau fakta-fakta yang diterimanya untuk disajikan menjadi berita yang panjangnya hanya beberapa kolom saja. Ucapan presiden atau menteri selama satu jam, yang jumlahnya sekitar 60.000 kata, harus ditulis oleh seorang reporter dengan panjang tulisan sekitar 4.000 hingga 7.000 kata saja.

Pada tingkatan ini, publik tidak memiliki hak apa pun untuk mencampuri kerja reporter. Dalam proses reporting ini, ideologi, visi, dan misi reporter sangat menentukan. Seorang reporter yang berpegang teguh kepada ideologi Islam, tidak akan mau menyiarkan berita-berita yang dianggapnya menyesatkan. Jika ia terpaksa mengungkap opini sesat, ia akan menyertainya dengan opini yang meng-counter­-nya. Misalnya, ia tidak akan menyiarkan ucapan pihak-pihak yang menolak syariat Islam tanpa menyertainya dengan bantahan pihak lain yang mendukung penerapan syariat Islam. Tentu saja, reporter yang berpegang teguh kepada ideologi Islam akan sangat takut untuk menyiarkan kabar bohong atau fitnah. Ia akan bekerja secermat-cermatnya agar tidak terjatuh ke dalam kesalahan.

Pada proses editing dan publishing, redaktur, redaktur pelaksana, sampai pemimpin redaksi berwenang menyeleksi berita, mengedit, menyusun tata letak berita, dan menempatkan halaman berita. Termasuk dalam proses ini adalah koreksi dan penentuan judul berita. Para awak redaksi inilah yang berwenang besar untuk menyajikan "fakta semu" kepada masyarakat. Publik nyaris tidak campur tangan dalam proses ini. Hanya dalam ruang opini dan surat pembaca, publik diberi tempat yang sangat terbatas untuk "urun suara" di media massa.

Pada kedua proses ini, unsur ideologi, visi, dan misi media massa juga sangat berperan. Suatu media massa yang berideologi, bervisi, dan bermisi Islam tidak akan menyiarkan berita-berita yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ideologi, visi, dan misi media massa dapat dilihat dari pilihan-pilihan kata yang digunakan. Sebagai contoh, penggunaan istilah "ekstrem", "fundamentalis", "pemberontak", dan sebagainya yang dilekatkan terhadap suatu kelompok/komunitas Muslim. Disadari atau tidak, kadangkala media massa menggunakan istilah-sitilah tersebut secara gegabah. Sejumlah kasus dapat dilihat dalam berbagai pemberitaan di media massa.

Pada hari Selasa, 25 Januari 2000, sejumlah media massa menyiarkan berita tentang kelompok HAMAS Palestina yang mendukung perjuangan para pejuang Chechnya melawan agresi Rusia. Ada media massa yang menggunakan sebutan "kelompok ekstremis HAMAS" untuk kelompok HAMAS. Sebutan itu merupakan refleksi sinisme dan kebencian media massa tersebut terhadap pejuang HAMAS. Pada saat yang bersamaan, media massa lain menggunakan sebutan yang lebih sopan, yaitu "kelompok garis keras HAMAS".

Dalam bahasa Arab, istilah "ekstrem" diterjemahkan sebagai tatharruf, yang berarti penyimpangan atau tindakan yang berlebihan dari suatu jalan atau cara yang benar yang seharusnya ditempuh. Jadi istilah "ekstrem" berkonotasi negatif, padahal HAMAS adalah kelompok pejuang Palestina yang menuntut kemerdekaan tanah airnya yang hingga kini masih dirampas dan dijajah oleh Zionis Israel. Mereka menggunakan cara yang berbeda dengan PLO, tetapi tujuannya sama, yaitu membebaskan negeri Palestina dari penjajah Israel. Perbedaan cara itu adalah hal yang biasa dalam perjuangan, seperti halnya ketika sejumlah pejuang kemerdekaan Indonesia memilih cara kooperatif dengan Belanda dan sebagian lainnya menggunakan cara non-kooperatif dengan penjajah Belanda.

Dalam perspektif Israel, HAMAS adalah kelompok ekstrem. Sebagaimana dalam perspektif penjajah Belanda, Pangeran Diponegoro adalah orang ekstrem dan pengkhianat bangsa. Jadi, sebutan yang digunakan oleh media massa bahwa HAMAS adalah "kelompok ekstrem" merupakan cara pandang khas Zionis Israel.

"Sinisme" atau "ketidaksimpatian" media massa terhadap Islam atau yang berbau Islam juga tampak, misalnya, pada pemberitaan seputar kasus Chechnya. Pada tanggal 18 Juni 1995, ada media massa yang menurunkan berita berjudul "227 Warga Rusia Dibebaskan Pemberontak Chechnya". Berita itu diawali dengan teras berita, "Sekitar 227 orang warga Rusia yang disekap oleh pemberontak Chechnya di Budennovsk, hari Sabtu dibebaskan."

Istilah "pemberontak" yang digunakan oleh media massa tersebut terhadap para pejuang Chechnya itu jelas berkonotasi negatif. Istilah itu mengandung makna bahwa mereka sah-sah saja ditumpas dan dibantai oleh tentara Rusia karena memberontak terhadap pemerintahan yang sah, yakni pemerintah Rusia, padahal sudah ratusan tahun rakyat Chechnya tertindas dan terjajah di bawah Rusia, dan mereka ingin merdeka dan berdaulat.

Dalam perspektif kaum imperialis, memang tidak salah jika penjajah Belanda dan antek-anteknya menyebut Pangeran Diponegoro, Tjut Nya' Dien, Imam Bonjol, Kasman Singodimedjo, Hatta, Agus Salim, Bung Tomo, Panglima Sudirman, dan para pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya sebagai "pemberontak".

Jika hendak mengangkat seseorang, media massa menggunakan sebutan atau predikat yang indah-indah untuk orang tersebut, seperti "guru bangsa", "tokoh demokrasi", "pejuang HAM", "aktivis demokrasi", dan sebagainya. Sebaliknya, jika hendak memunculkan citra buruk atau menjatuhkan citra seseorang, media massa menggunakan istilah-istilah yang kurang simpatik.

Dalam Kode Etik Jurnalsitik PWI, pernah ditetapkan larangan untuk mencampuradukkan antara fakta dan opini. Fakta harus ditulis sebagai fakta, opini harus dikatakan sebagai opini. Kaidah lain yang dipegang dalam dunia jurnalistik adalah asas "berita berimbang". Artinya, semua pihak yang terlibat dalam suatu "konflik" harus diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Secara prinsip, kaidah ini sangat baik, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa para wartawan kadangkala menggiring komentar narasumber ke arah opini yang dikehendakinya. Para insan pers itulah yang "berwenang" memberi suguhan opini kepada masyarakat, bukan masyarakat yang menentukan opini jenis mana yang dikehendakinya.

Ketika terjadi kasus penyerbuan Komplek Kristen Duolos, 16 Desember 1999, para wartawan yang mengerubuti sejumlah narasumber menyodorkan pertanyaan, "Apakah Bapak mengutuk penyerbuan itu?" Sejumlah wartawan bahkan menyodorkan pernyataan, "Tapi, Bapak mengutuk perbuatan itu, kan?" Opini publik sudah digiring pada satu titik: kutuk penyerbu Duolos! Yang terjadi kemudian, pers memuat komentar-komentar yang berisikan gelombang kutukan, tanpa memberi peluang kepada publik untuk mendalami persoalan yang sebenarnya. Pertanyaan "mengapa" menjadi tidak penting. Lagi-lagi, ideologi, visi, dan misi suatu media massa sangat menentukan untuk menggiring persepsi publik kepada satu opini publik.

"HANTU" OPINI PUBLIK

Dalam percaturan perekayasaan fakta semu semacam itu, faktor benar-salah tidak menjadi faktor penentu. Lippmann termasuk pakar komunikasi yang aktif menggugat identifikasi antara berita (fakta semu/kenyataan fatamorgana) dan kebenaran. Sebagian pakar komunikasi membedakan antara public opinion dengan general opinion. Public opinion lebih tepat diartikan sebagai "pendapat khalayak" atau "anggapan khalayak". General opinion lebih tepat dialihbahasakan menjadi "pendapat umum" atau "opini umum".

Opini publik, menurut Clyde L. King, pakar publisistik di Universitas Pensylvania, adalah penilaian sosial (social judgement) mengenai suatu masalah. Opini publik bukanlah kata sepakat dari orang-orang publik. Opini publik dapat merupakan mayoritas pendapat, tapi bukan mayoritas pendapat yang dapat dihitung secara numeric menurut jumlah. Andaikan ada 49% dari suatu populasi menyatakan pendapat dengan tegas dan kuat, sedangkan yang 51% menyatakan pendapat dengan lemah dan setengah-setengah, opini pihak pertamalah (49%) yang memiliki kekuatan besar dan akhirnya akan tumbuh sebagai satu kekuatan. Karena itu, opini publik bukanlah suatu numerical majority, melainkan effective majority. Opini publik memang bukan suatu yang permanen, melainkan dapat datang silih berganti, bergantung pada "keefektifan" proses pembentukannya. Lippmann dalam bukunya, The Phantom Public, menyebut opini publik sebagai "hantu" yang suatu ketika dapat muncul tanpa diduga dan juga menghilang tanpa bekas.

Opini publik sebagai "hantu" itu dapat disimak pada berbagai kasus yang terjadi di muka bumi. Opini publik terhadap sesuatu dapat berubah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Di Indonesia, dalam jangka waktu puluhan tahun, Gus Dur dipersepsikan sebagai "tokoh demokrat" yang sederhana, lurus, bersih, dan demokrat. Akan tetapi, opini publik tentang Gus Dur itu kemudian sirna tak lama setelah dia menjadi presiden dan didera berbagai skandal. "Hantu" opini publik tentang berbagai tokoh di Indonesia datang silih berganti, terkadang berubah dengan sangat ekstrem. Soekarno yang selama puluhan tahun dipersepsikan sebagai "orang tidak baik" tampil kembali menjadi "orang baik" menyusul tumbangnya Soeharto. Sebaliknya, Soeharto, yang selama puluhan tahun dipersepsikan sebagai "penyelamat bangsa", berubah menjadi "penghancur bangsa" menyusul kejatuhannya.

Kasus dramatis tentang "hantu" opini publik dapat dilihat dalam kisah kematian Lady Diana, yang sempat mengguncang dunia dan menyulut "demam Diana" di seantero jagad. Kasus ini menjadi contoh yang sangat baik untuk menggambarkan kisah sukses "rekayasa opini global" dalam mengguncang dan "menyihir" dunia.

"DEMAM DIANA" DAN REKAYASA INFORMASI

Kematian Diana telah menimbulkan dua diskursus penting dalam bidang komunikasi. Pertama, tentang hakikat kebebasan pers (sebab kematian Diana memang berkaitan erat dengan tindakan papparazi yang terus memburunya). Kedua, munculnya "demam Diana", yakni sebuah fenomena global berupa reaksi dan perhatian dunia yang begitu menggebu-gebu terhadap Diana.

Diskursus yang pertama sudah banyak dibahas oleh para pemerhati komunikasi dan praktisi jurnalistik di Indonesia. Prof. Abdul Muis, misalnya, berpendapat bahwa setiap public figure harus siap untuk mendapat kontrol dan kritik, sebagai encounter ilmiah dari masyarakat. Akan tetapi, katanya, kritik itu harus fair dan aktual (fair, accurate, and true). Seorang public figure, menurut Muis, telah menjadi newsmaker dan karenanya tak dapat lepas dari tradisi komunikasi massa, yaitu fair comment and criticism. Pada diskursus kedua, dunia memang mendapati sebuah fenomena global berupa "demam Diana" yang tidak mampu dibendung oleh kekuatan opini lain.

Diana sebenarnya bukan tokoh yang luar biasa, tetapi dapat "memaksa" jutaan bahkan miliaran orang di dunia -yang tidak ada kaitan apa pun secara sosial dan kultural dengan Diana- menjadi pemuja Diana. Dapat dikatakan bahwa "demam Diana" itu terjadi sebagai akibat dari kecanggihan rekayasa informasi global, yang mampu menghadirkan realitas semu di tengah masyarakat internasional. Informasi -sebagaimana uang- memang tidak memiliki tanah air.

Informasi, menurut Peter F. Drucker, sudah bersifat transnasional penuh saat ini, yang tidak mungkin lagi dihambat oleh pemerintah. Tak ada lagi batas-batas nasional bagi informasi. Dengan sifat yang transnasional tersebut, menurut Drucker, informasi global telah melemahkan bahkan menghancurkan identitas nasional dan menggantinya dengan identitas "kebudayaan baru". Informasi telah berhasil memaksakan selera dan idola bagi masyarakat dunia. Drucker mencontohkan, bagaimana masyarakat Perancis lebih suka kepada tokoh Charlie Chaplin (Amerika Serikat) daripada tokoh-tokoh lain yang direkayasa oleh penulis Perancis.

Informasi (pengetahuan), kata Drucker, yang menjadi faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru yang disebutnya sebagai "masyarakat pascakapitalis". Dalam masyarakat baru tersebut, sumber ekonomi dasar bukan lagi modal (kapital), sumber daya alami, bukan pula tenaga kerja, tetapi pengetahuan.

Kekuatan informasi itulah yang juga diyakini oleh Alvin Toffler sebagai the highest quality power, lebih tinggi daripada money power dan muscle power. Karena itu, menurut Toffler, wajarlah jika di seluruh dunia terjadi pertempuran untuk merebut kontrol terhadap pengetahuan (knowledge) dan alat-alat komunikasi.

Toffler merumuskan bahwa suatu informasi selalu merujuk pada data yang telah dirumuskan dalam pola atau skema tertentu. Data itu sendiri, menurut Toffler, more or less unconnected facts, lebih-kurangnya tidak menyambung dengan fakta sebenarnya, sedangkan pengetahuan adalah informasi yang telah disusun dalam pernyataan yang lebih umum (more general statements). Karena itu, informasi atau pengetahuan yang ditangkap oleh masyarakat bisa jadi merupakan suatu "kebenaran", "yang mendekati kebenaran", atau "kesalahan". Akan tetapi, informasi atau pengetahuan itu sendiri tidaklah mungkin sama dengan fakta sebenarnya, padahal globalisasi -yang terutama dipacu oleh perkembangan pesat di bidang teknologi komunikasi- telah melahirkan ketimpangan arus informasi global. Arus informasi global berjalan searah: dari Dunia Kesatu (negara-negara maju) ke Dunia Ketiga (negara-negara berkembang). Informasi dunia saat ini diatur oleh kantor-kantor berita utama, yaitu Associated Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, Agence France Press (AFP), dan TASS.

Kekuatan jaringan kantor-kantor berita itu luar biasa besarnya. Sebagai contoh, Reuters memiliki lebih dari 1.100 wartawan, fotografer, dan juru kamera yang tersebar di 79 negara. Informasi yang disebarkan Reuters disampaikan melalui 145.000 terminal dan teleprinter yang langsung dihubungkan dengan komputer kliennya. Layanan diberikan dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Arab, Jepang, Denmark, Norwegia, Belanda, Swedia, Portugis, dan Italia. Lebih dari lima juta kata yang berhubungan dengan teks berita diproses setiap hari melalui komputer pengatur pesan di kantor editorial London, padahal Reuters masih memiliki pusat editing lain di Hongkong dan New York, yang juga bekerja 24 jam sehari.

Setiap harinya, kantor berita AP melansir dua juta kata per hari dalam bahasa Inggris; UPI mengirim 14 juta kata per hari yang dikirim ke seratus negara pelanggan; AFP menghasilkan satu juta kata dalam berita per hari yang dikirim ke 12.000 pelanggan di 144 negara. Di Perancis, AFP menempatkan 870 wartawan dan 850 wartawan lainnya ditempatkan di 180 negara.

Sebagai perbandingan, Pool Kantor Berita Negara-Negara Non Blok (NANAP) setiap harinya mengirimkan 80.000 kata dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, dan Arab, sedangkan Organization of Asia-Pasific News Agencies (OANA) menghasilkan 25.000 kata per hari; Gulf News Agency (GNA) yang beranggotakan Bahrain, Irak, Kuwait, Qatar, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab, menghasilkan 6.000 kata per hari dalam bahasa Arab.

Dalam bidang pertelevisian, William A. Hachten mencatat bahwa Visnews sebenarnya merupakan pemasok berita internasional untuk televisi yang utama di dunia. Visnews melayani lebih dari 170 badan siaran di hampir semua negara yang memiliki televisi. Visnews yang merupakan kantor berita televisi terbesar di dunia adalah anak perusahaan Reuters.

Dominasi informasi oleh negara-negara maju tersebut telah lama dipersoalkan oleh Dunia Ketiga. Tahun 1975, para wartawan Dunia Ketiga yang berkumpul atas undangan Yayasan Dag Hammarskjold, mengimbau agar:
  1. mengakhiri hampir monopoli kontrol pada media internasional;
  2. mengakhiri orientasi pasar pada berita dan hiburan internasional;
  3. melindungi budaya negara-negara berkembang dari media internasional negara-negara kaya;
  4. menggantikan pelayanan langsung dari agen berita internasional dengan upaya kerja sama dengan agen-agen berita nasional.

Pakar komunikasi Wilbur Schramm membenarkan bahwa hampir ada monopoli media internasional, adanya orientasi pasar pada media internasional. Pada gilirannya, arus informasi dan hiburan dari media internasional akan dapat mempercepat perubahan budaya tradisional.

Dengan dominasi alat-alat komunikasi itulah, negara-negara maju leluasa melakukan "rekayasa informasi global". Untuk itu, pemerintah dari negara-negara maju tersebut bersedia membiayai kantor berita internasionalnya yang mengalami kerugian operasionalnya. Pemerintah Perancis misalnya, pernah memberikan subsidi 65 miliar USD kepada AFP.

Kekhawatiran Dunia Ketiga terhadap rekayasa informasi global semakin beralasan karena melihat dominasi informasi negara-negara maju yang tak tergoyahkan. Informasi yang berjalan searah dan monoton, sehingga pemegang dominasi informasi dengan leluasa memaksakan nilai-nilai dan budayanya -termasuk memaksakan tokoh-tokoh tertentu menjadi idola dunia. Diana adalah salah satu kasus, sebagaimana halnya penokohan tokoh-tokoh fiktif seperti Rambo.

Pada gilirannya, dominasi informasi global dapat menimbulkan apa yang disebut Hamelink (1994) sebagai disempowerment, yaitu, "Making people powerless, it refers to a process in which people loose the capacity to control decision affering their lives. Disempowerment is the reduction of people ability to define them-selves and to construct their own identities."

Dalam perspektif ini, "demam Diana" dapat dilihat sebagai kasus disempowerment masyarakat global, sebagai akibat dari rekayasa informasi global. Masyarakat dibuat tidak berdaya untuk mempersepsikan dirinya, mempersepsikan lingkungannya sendiri, sehingga mampu menampilkan tokoh wanita yang lebih baik dan lebih mulia ketimbang Lady Diana. Tentu sangat naif bila menyatakan bahwa tidak ada satu pun wanita Indonesia yang lebih hebat dari Diana. Banyak masyarakat Indonesia yang menyadari hal itu, tetapi mereka menjadi tidak berdaya, menjadi powerless, tidak berdaya untuk mengangkat "tokoh idola" yang lebih hebat dan lebih dekat secara kultural dengan mereka sendiri.

Diana menjadi bagian dari rekayasa industri global yang membuat selera yang sama (homogenitas) terhadap food 'makanan', fun 'hiburan', dan fashion 'mode'. Diana adalah bagian dari fun, yang biasanya bersifat temporer. Karena itu, "demam Diana" tidaklah berlangsung lama. "Demam" itu berangsur-angsur hilang, menyusul ditemukannya suatu komoditas informasi dan "laku dijual".

PENYESATAN OPINI DAN AKIDAH

Di era globalisasi informasi seperti saat ini, institusi-institusi media massa menjadi "penguasa" penting. Otoritas mereka yang sangat besar harusnya diikuti oleh peningkatan profesionalitas dan moralitas para personilnya. Institusi-institusi inilah yang menjadi pemasok input bagi "kepala" publik yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat.

Setiap proses komunikasi melibatkan sejumlah komponen: (1) komunikator (penyampai pesan), (2) pesan (pernyataan yang didukung oleh lambang), (3) komunikan (penerima pesan), (4) media (sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh atau banyak), (5) efek (dampak sebagai pengaruh dari pesan).

Dalam kerangka komunikasi, informasi adalah pesan (message). Adapun komunikasi, secara paradigmatik, didefinisikan sebagai proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media.

Dampak yang ditimbulkan oleh proses komunikasi dapat diklasifikasikan menurut kadarnya: (1) dampak kognitif, yaitu perubahan pada intelektualitas komunikan (bertambahnya pengetahuan), (2) dampak afektif, yaitu lebih tinggi dari dampak kognitif. Tujuan dari komunikator bukan hanya membuat tahu komunikan, tetapi menggerakkan hati/perasaan; komunikan diharapkan menjadi iba, sedih, gembira, marah, dan sebagainya, (3) dampak behavioral, yaitu perubahan tingkah laku pada komunikan. Ada yang merumuskan tahap-tahap pengaruh informasi terhadap perilaku dalam formula AIDDA (A = attention 'perhatian', I = interest 'minat', D = desire 'hasrat', D = decision 'keputusan', A = action 'aktivitas').

Meskipun laksana hantu, peran opini publik terhadap proses dinamika sosial sangatlah penting. Opini publik dapat bertahan puluhan tahun dan jika belum ada "koreksi" yang kuat terhadap opini sebelumnya, opini itu akan mengendap menjadi nilai-nilai sosial yang membentuk persepsi atau stereotipe masyarakat terhadap suatu masalah. Persepsi atau stereotipe negatif orang-orang Barat terhadap Islam bahkan bertahan selama berabad-abad dan turun-temurun.

Karena itu, opini publik yang digulirkan oleh aktor-aktor komunikator yang ulung dan dilakukan dengan proses rekayasa penggalangan opini yang serius dapat memberi dampak besar terhadap kognitif, afektif, dan perilaku masyarakat. Rekayasa opini publik itu bahkan seringkali dilakukan untuk membenarkan atau memberikan legitimasi terhadap suatu kebijakan politik pada tingkat global. Di era 1970-an, penguasa Indonesia melakukan rekayasa-rekayasa opini yang canggih untuk menciptakan citra buruk terhadap umat Islam dengan menciptakan "kasus-kasus buatan" seperti pembajakan Woyla dan berbagai teror kekerasan oleh Komando Jihad. Setelah opini publik beredar di masyarakat bahwa Islam adalah berbahaya dan kejam, dilakukanlah pemberangusan-pemberangusan aktivitas dakwah di masjid-masjid. Di Serbia, isu "ancaman Islam" ditiupkan oleh pemerintah Serbia sebelum melakukan aksi pembasmian etnis Muslim Bosnia.

Menurut Ralph Schoenman, pembantaian sekitar enam juta warga Yahudi di Jerman (holocaust) merupakan buah kerja sama antara tokoh-tokoh Zionis dengan Nazisme untuk menciptakan kesan bahwa Yahudi adalah bangsa tertindas dan layak mendapat simpati dunia. Schoenman menyodorkan sederet fakta tentang kerja sama Zionis dan Nazi dalam memuluskan upaya pendirian negara Yahudi di Palestina dan pemaksaan orang-orang Yahudi agar mau berpindah ke Palestina. Pada tahun 1935, milisi Zionis Sosialis Pekerja, Haganah, yang didirikan oleh Jabotinsky mengirimkan agen (Feivel Polkes) ke Berlin untuk ditawarkan sebagai mata-mata bagi S.S. Pada bulan Mei 1937, Reindhardt Heydrich, kepala S.S., menulis sebuah artikel yang memuji orang-orang Zionis Yahudi. "Doa dan niatan baik resmi kita sejalan dengan mereka," tulisnya. Adolf Eichman juga pernah berkunjung ke Palestina dan menjadi tamu Haganah. Polkes pernah menyatakan, "Kelompok nasionalis Yahudi sangat gembira dengan kebijakan radikal Jerman."

Peran opini publik terhadap pola pikir, pola sikap, dan perilaku masyarakat tidak ada yang meragukannya. Seyogianya, kaum Muslim menjadi kelompok yang menyadari hal ini dan secara aktif melakukan penggalangan opini yang sehat dan tidak menyesatkan. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik, kaum Muslim dijejali informasi yang begitu deras mengalir sampai ke pojok-pojok kamar tidur melalui berbagai media massa. Mungkin, membanjirnya informasi yang begitu deras tersebut, dalam banyak hal, membuat masyarakat tidak berdaya. Pornografi dan keseronokan menjadi makanan sehari-hari. Banyak pemilik media massa seolah-olah tidak peduli lagi apakah informasi yang disampaikan ke masyarakat itu mendidik atau merusak, benar atau menyesatkan; yang penting laku dan menyedot iklan.

Dapat dipahami jika penyebar "opini sesat" (sekularisme, pluralisme, liberalisme, sinkretisme, spiritualisme, dan sejenisnya) itu orang-orang atau media non-Islam. Namun, kaum Muslim patut berduka ketika menyaksikan berbagai penyebaran opini yang menyesatkan justru dilakukan oleh orang-orang yang bergelar kiai haji atau dikenal sebagai tokoh dan pakar Islam. Jika ide pemisahan agama dengan negara (sekularisme) dipromosikan oleh para pastor dan pendeta, bukanlah merupakan sesuatu yang aneh sebab memang begitulah ajaran agama mereka -setidaknya setelah tokoh-tokoh agama Nasrani secara resmi menerima sekularisasi. Akan tetapi, bagaimana jika pemikiran sesat itu justru disebarkan oleh ulama-ulama, tokoh, pakar Islam, atau pimpinan organisasi-organisasi Islam? Sudah begitu dekatkah dunia ini dengan masa kehancurannya? Apakah sudah tiba saatnya zaman seperti yang digambarkan olen Nabi Muhammad saw. dalam sebuah sabdanya,

"Sudah hampir tiba suatu zaman yang kala itu tidak ada lagi dari Islam kecuali hanya namanya dan tidak ada lagi dari Al-Qur'an kecuali hanya tulisannya. Masjid-masjid mereka indah, tetapi kosong dari hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-jahat makhluk yang ada di bawah kolong langit. Dari mulut para ulama itulah keluar fitnah dan kepada mereka fitnah itu akan kembali." (HR. Baihaqi, dari Ali bin abi Thalib)

Setiap kemungkaran, apa pun bentuknya, harus dicegah atau dilawan agar tidak leluasa berkembang di tengah masyarakat. Nabi saw. bersabda,

"Barangsiapa di antaramu melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu, ubahlah dengan lisannya; dan jika tidak mampu, (ubahlah) dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman." (HR. Muslim dan Ashabus Sunan)

Allah SWT pun berfirman,

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110)

"Dan, hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)

"Dan, orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya..." (QS. at-Taubah: 71)

Aktivitas amar ma'ruf nahi munkar memang merupakan kewajiban yang sangat ditekankan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, bahkan disebutkan sejumlah dampak buruk bagi masyarakat jika amar ma'ruf nahi munkar tidak ditegakkan. Siksaan dan azab Allah akan turun kepada seluruh warga masyarakat, baik yang baik maupun yang zalim, tanpa pandang bulu.

"Dan, peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan, ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya." (QS. al-Anfaal: 25)

"Sesungguhnya, jika manusia melihat kemungkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum." (HR. Abu Dawud)

"Kamu harus mengajak mereka kepada yang makruf dan harus mencegah kemungkaran; jika tidak (kamu lakukan), Allah pasti akan menjadikan orang-orang paling jahat di antara kamu sebagai pemimpinmu (penguasa); dan jika orang-orang baik di antara kamu berdoa, doa mereka tidak dikabulkan." (HR. Al-Bazzar dan Thabrani)

Penyesatan opini adalah sebuah kemungkaran yang wajib dilawan oleh setiap Muslim, baik dengan tangan, lisan, atau hati. Sebab, penyesatan opini akan berdampak langsung pada kesesatan akidah. Orang yang termakan oleh opini sesat bahwa semua agama adalah sama dan benar, akan rusak keyakinan atau keimanan yang meyakini bahwa hanya Islam agama yang benar dan diridhai Allah (Ali Imran: 19, 85). Orang yang termakan opini sesat bahwa syariat Islam tidak sempurna, sudah usang, dan perlu diperbarui, otomatis akan menjadi penentang ayat-ayat Allah yang mewajibkan kaum Muslim untuk bertahkim dengan hukum Allah (al-Maa'idah: 44, 45, 47; an-Nisaa': 59-60; al-Hasyr: 7). Jadi, penyesatan opini adalah hal yang sangat berbahaya, apalagi yang berkaitan langsung dengan persoalan akidah Islam.

Berbeda dengan kemungkaran yang jelas dan mudah dipahami, seperti tindak pencurian, perampokan, korupsi, minuman keras, dan sebagainya, penyesatan opini merupakan tindak kemungkaran yang agak rumit dan memerlukan pemikiran tambahan untuk memahaminya. Kemungkaran jenis ini memang memungkinkan terjadi -apa yang disebut Ibnul Jauzi- sebagai talbis, yakni menampilkan kebatilan dalam wajah kebenaran (manipulasi).

Melalui tulisan ini, penulis berpikir dan berharap sangat sederhana, mudah-mudahan masih banyak kaum Muslim yang mau menggunakan akalnya untuk membiasakan diri berpikir secara jernih, bersikap kritis, dan tidak mudah terbuai oleh opini-opini sesat yang semakin leluasa bergentayangan di era globalisasi melalui media massa, meskipun yang membawa opini adalah para pemimpin, pembesar, atau tokoh yang populer di tengah masyarakat.

Semoga Allah SWT menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah, dan kita semua diberi kemampuan untuk mengikuti kebenaran dan menjauhi kesalahan. Amin.


Sumber: Penyesatan Opini; Sebuah Rekayasa Mengubah Citra dengan editan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar